dua puluh satu

1.4K 222 104
                                    

Pensilnya kembali mengukir beberapa perhitungan data setelah menghembuskan napas kasar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pensilnya kembali mengukir beberapa perhitungan data setelah menghembuskan napas kasar. Sikap tenangnya yang terlihat dapat dikendalikan semenjak kelas berlangsung (dalam pandangan Naura dan orang lain), ia salah besar. Itu mungkin hanya lima puluh persen. Kepalanya bahkan mendadak pening saat Naura tiba-tiba kembali duduk di sebelahnya. Tidak bermaksud risih atau apalah itu. Tapi ... ah, nggak tau.

Sebelum itu, mungkin selama satu minggu penuh Naura agak menjauhinya. Ia tidak merasa aneh, tetapi rasa lega sekaligus aman mulai menghampiri.

Lalu setelah kejadian membobol ruang kelas di malam hari hanya karena membantu Naura mencari kartu transportasi miliknya, setelah itu juga seperti ada sebuah bangunan yang telah ia bangun serinci dan sekokoh mungkin, secara perlahan agak hancur dan runtuh. Apalagi saat Naura kembali pindah duduk di sebelahnya, kembali mengoceh panjang lebar yang membuatnya sesekali terkekeh geli dan menggeleng tidak habis pikir. Naura juga kembali membantu meminjamkannya buku-buku Arsitektur edisi lama, dan sikap menonjol selama berbulan-bulan yang lalu kembali muncul dipikirannya yang selama ini selalu dipenuhi dengan kompetisi dan latihan tugas.

Nina yang duduk di meja yang berhadapan dengan Mark, hanya bisa mengernyitkan alisnya heran. "Mark, lo kenapa?"

"Nggak apa-apa."

Suara itu spontan ketika fokusnya kembali terkumpul dan Nina terkesiap, mendengus kecil karena lagi-lagi Mark bersikap sangat dingin kepadanya. Lalu memilih kembali fokus menggambar.

Beberapa menit fokus pada perhitungannya, Mark mendadak terkejut saat Lucas sudah melingkarkan lengan di bahunya, itu langsung membuatnya berdehem mendadak dan kembali merobek kertas sketsanya. Meremukkan dan membuangnya ke lantai untuk ke sekian kalinya dan Lucas berujar heran, "Heh, buang-buang kerja keras pekerja pabrik kertas, ya? Banyak banget sampah di lantai. Lo kenapa?"

Mark menghela kasar. Lalu kepalanya menoleh menatap kehadiran Lucas yang tersenyum lebar ke arahnya. Ekspresi datar yang Lucas pikir pemuda itu risih atas kedatangannya, membuatnya sedikit merinding apalagi saat Mark kembali melanjutkan, "Ngapain lo ke sini?"

"Waduh, kenapa semakin hari makin dingin gini, ya?" Lucas mendecak heran. "Santai, dong. Gue nggak mau kesepian di asrama karena Jaemin yang masih ada kelas. Lo juga yang jarang ke asrama dan lebih sering tinggal di apartemen sama Mama lo."

"Hah? Tinggal di apartemen?" Nina mendadak penasaran. "Sama Mama lo?"

Lucas mengangguk. "Iya. Anak Mama, sih dia."

Jawaban yang Nina harap Mark yang melakukannya, langsung menatap sinis ke arah Lucas dan kembali sibuk menggambar lagi.

Beberapa saat Mark mengetuk keras ujung pensil lancip miliknya, mendecak kesal saat lagi-lagi hitungannya ada yang kurang dan harus mengulangnya kembali. Ia lantas kembali merobek kertas, meremukkannya dan membuangnya ke lantai. Kepalanya menoleh kembali terhadap Lucas yang memasang wajah ngeri ke arahnya. Tepatnya menatap ke arah dua bungkus kertas coklat yang ia yakini berisi sandwich untuknya.

ᴍ ᴀ ʀ ᴋ ᴇ ᴜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang