Jika kamu merasa dunia tidak berporos padamu, cobalah berhenti sejenak. Tengoklah ke belakang, ada aku yang selalu menjadikanmu sebagai duniaku.
Satu pesanku sebelum aku pergi, berjanjilah untuk terus hidup seperti biasanya. Jika kamu sedih, ingatl...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sinar matahari menyambutku yang masih bergelung di kamar. Dengan setengah kesadaran yang tersisa, aku beranjak dari kasur dan menyibakkan gorden. Membiarkan sinar matahari masuk melalui celah jendela, membiarkannya menerangi sudut kamar. Aku segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke kantor. Walaupun rasa malas tidak bisa aku hindari. Aku mendengus kasar, saking sebalnya karena tidak mendapatkan gairah sama sekali untuk memulai hari dengan bekerja.
Bayangkan saja, aku baru beristirahat pukul empat dini hari dan harus kembali bekerja pada pukul enam! Itupun dengan jarak tempuh satu jam perjalanan dari arah rumah menuju kantor yang berada Jalan Kemang. Mungkin suatu saat nanti, aku harus benar-benar mengambil jatah cuti yang selalu aku abaikan.
Tidak perlu pusing lagi, setelah aku menyelesaikan rutinitas mandi dan memakai pakaian khas kerja, aku sedikit memoleskan produk skin care agar tetap menutrisi wajahku yang cenderung kering.
“Not bad,” komentarku.
Setidaknya pagi ini, aku terlihat lebih segar. Berbeda dengan waktu sore hari nanti, ah membayangkannya saja sudah membuatku muak! Aku bergidik ngeri. Setelah menenteng tote bag hijau army, aku menuruni anak tangga dan menghampiri keluarga kecilku yang sedang berkumpul di meja makan, dekat kamarku.
Aku tergerak mencium sebelah pipi ibu dan mencubit gemas pipi gembil milik adik perempuanku yang sudah berusia lebih dari sepuluh tahun ini.
"Pagi," sapaku.
Ibu dan Lala—adikku—kontan tersenyum simpul padaku. Sampai acara makan dimulai, aku sama sekali tidak melihat kehadiran papa yang biasanya tidak pernah absen saat sarapan pagi.
Ibu yang seakan mengerti keheranan dalam benakku menjelaskan, “Papa masih di ruang kantor, katanya masih ada hal yang harus dia urus.”
Aku hanya ber-oh-ria sambil kembali melanjutkan sarapanku yang tertunda. Lala yang sarapannya tinggal setengah, mendadak mengulurkan sebelah tangannya di depanku.
“Mana, Kak, tiketnya?” tagihnya.
Aku tersedak makanan, buru-buru ibu memberikan aku air dan langsung aku teguk. Lupa! Alarm bawah sadarku mengintruksikan bahwa aku harus pandai-pandai memanipulasi kecemasan. Karena bagaimanapun juga, mempunyai adik seperti Lala yang termasuk tipikal orang yang mudah merajuk saat keinginannya tidak terpenuhi, itu benar-benar merepotkan!
Aku berdeham singkat sebelum menjawab, “Hm ... Kakak coba cari tiket Pasar Malamnya minggu nanti ya? Tambah makan es krim, ya?” ujarku, sekaligus membujuknya.