BBB [30]

341 29 0
                                        

Sorry for typo
~Happy reading~

Aku menggenggam erat sebuah brevet komando berwarna keemasan ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menggenggam erat sebuah brevet komando berwarna keemasan ini. Bentuknya tidak terlalu besar sehingga terasa pas saat aku menggenggamnya.

Aku tidak tahu jika menggenggamnya akan menimbulkan perasaan hangat pada tanganku. Aku masih memejamkan mataku sambil menundukkan kepala, menunggu kehadiran Arusha di taman perumahanku yang tidak jauh di tempuh dari Pusdiklatpassus.

Saat aku membuka mata dan  mendongakkan kepala. Senyumku merekah walaupun dibalas dengan tatapan datar darinya. Tidak masalah, toh dia juga memang kadang seperti itu.

"Apa?" tanyanya terkesan dingin dan terburu-buru.

Aku bangkit dari duduk, meskipun demikian tidak membuat tinggiku setara dengannya. Karena aku hanya sebatas bahunya. Untuk itu, aku kembali menengadah.

Membalas tatapan yang tajam dari Arusha dengan tatapan hangat dan binar senang yang sulit aku sembunyikan. "Aku kira, kamu gak datang," ujarku, tapi Arusha hanya diam. Matanya saja yang terpaku ke arahku.

Arusha menunjukkan gesture terburu-buru dengan melirik arloji yang melingkar pada tangannya. Aku menahan rasa kesal itu bulat-bulat. "Kamu pasti sibuk buat pendidikanmu itu ya?" tebakku.

Tapi Arusha hanya diam mendengarkan, tidak ada sepatah katapun yang dia ucapkan. Aku berusaha merendam rasa kecewa itu. Sekali lagi, aku mencoba bertanya padanya,  "Kamu ... marah ya?"

Jelas dia marah Naura! Bodohnya pertanyaanmu yang tidak berbobot itu! Makiku dalam hati.

Aku menghela napas gusar. Berusaha tetap tersenyum dan menundukkan kepala dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dan terus menghantam hati. Aku mempererat lagi genggamanku pada brevet komando milik Arusha. Aku tidak peduli, jika karenanya dapat membuat tanganku terluka. Sebab, ada yang telah lama terluka selain rasa sakit fisik yang bisa aku tahan.

Hening menyelimuti kami berdua. Semilir angin memainkan perannya dengan meniup-niup kulitku dan membuat beberapa anak rambutku menyentuh tubuhnya yang berlapis seragam loreng berdiri tegap di depanku.

Aku tahu, mungkin dia masih kecewa atas tindakan sebelah pihak dari Ayah. Tapi bagaimana aku menjelaskan padanya bahwa aku saja menolak lamaran itu, jika Arusha terus saja mendiamkan aku seperti ini?

Tapi Ayah juga sudah menjelaskan padaku bahwa beliau tidak berniat menjodohkanku dengan Kapten Alvin, itu murni keinginan Alvin sendiri. Tapi aku dan Arusha malah salah paham atas kejadian tersebut, dan sekarang Arusha terlihat sangat berbeda. Dia bahkan sangat enggan menatap balik ke arahku, ketika aku dengan terang-terangan menunjukkan perasaanku lewat tatapan mata.

Ah, apa aku sudah seperti perempuan penggoda ya?

Aku mendesah pelan, terlalu kecewa dengan keadaan, tapi tak mampu berbuat banyak. Seolah terkungkung dalam situasi yang membuatku tidak bisa bergerak bebas.

Bye-bye, Black! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang