Jika kamu merasa dunia tidak berporos padamu, cobalah berhenti sejenak. Tengoklah ke belakang, ada aku yang selalu menjadikanmu sebagai duniaku.
Satu pesanku sebelum aku pergi, berjanjilah untuk terus hidup seperti biasanya. Jika kamu sedih, ingatl...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku kembali ke perum saat bulan purnama sedang cantik-cantiknya menghiasi langit, ditambah dengan bintang yang bertaburan di angkasa, banyak berkelip membuat aku terlena sesaat pada Kuasa-Nya. Sengaja aku memilih untuk tidak dihantarkan sampai ke perumku yang berada di blok F. Aku memilih untuk sedikit merefreshingkan diri dulu.
Angin dingin berhembus kencang, menembus jaket tebal yang aku pakai. Aku menarik resletingnya agak naik ke atas. Berharap dapat mengurangi rasa dingin yang menusuk. Aku mendongakkan kepala, menengadah pada langit kelam malam yang indah. Seolah mengejekku yang sedang gundah gulana.
"Sebenarnya apa yang Ibu rasakan ya?"
Aku menghela napas, sambil memejamkan mata sebentar. Rasa sakit itu kembali hadir, membuat setetes air bening yang semenjak tadi aku tahan, akhirnya jatuh di pelupuk mata juga.
•ווו
Pagi cerah dengan sinar matahari yang menembus jendela, membuatku sedikit risih. Apalagi dengan posisi aku yang masih setengah sadar sambil memeluk guling dengan posesif. Aku melenguh, menggosok mataku. "Ah, ternyata aku tertidur."
Aku paksakan kaki yang terasa masih kebas untuk melangkah ke kamar mandi, membilas muka dan gosok gigi. Aku tak perlu mandi lagi, karena sebelum azan subuh berkumandang, aku sudah mandi. Dingin tapi seger.
Setelah mengelap wajahku, aku biarkan handuk kecil itu melilit di leherku dan bergegas membuka laptop. Mengecek salah satu pekerjaanku : menyunting sebuah naskah bergenre militer.
"Kebetulan sekali," ujarku dengan tangan yang lincah mengetik pada papan keyboard. Semangat pagiku sedang berkobar-kobar.
Senyumku mengembang tak kala aku melihat, bahwa novel yang aku sunting, tinggal menyisakan beberapa chapter saja. Tapi sebuah notifikasi pada ponselmembuat atensiku teralihkan. Merasa harus waspada jika notifikasi yang baru saja aku terima, bukan berasal dari penulis yang naskahnya sedang aku tangani saat ini.
Semoga bukan penulisnya. Sungguh, berdebat dengan dia hanya akan menghabiskan energiku saja. Aku tidak mau, jika moodkuyang bagus seperti sekarang harus berakhir dengan mengelus dada.
You have a massage from Raka.
Keningku mengerut, sejenak aktivitasku terhenti. Aku membaca lamat-lamat kalimat tersebut. Tapi nyaris satu menit aku membacanya ulang, hasilnya tetap sama. Raka, pria itu hanya akan menghubungiku di jam-jam saat masuk kerja—itupun kalau pembahasannya penting.
Kadang juga di setiap pembahasannya, selalu ada kalimat menyindir darinya. Sehingga aku sudah terbiasa dengan sikap usilnya tersebut.
"Good morning, Black!" gumamku saat membaca pesannya.