Jika kamu merasa dunia tidak berporos padamu, cobalah berhenti sejenak. Tengoklah ke belakang, ada aku yang selalu menjadikanmu sebagai duniaku.
Satu pesanku sebelum aku pergi, berjanjilah untuk terus hidup seperti biasanya. Jika kamu sedih, ingatl...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dalam keadaan canggung seperti ini, Arusha tetap menjelaskan padaku. Meskipun matanya masih menatap tajam pada Anza.
Ini mereka ngapain pada main lirik-lirikkan kaya anak kecil yang lagi marahan sih!
Aku menggerutu sebal, belum lagi sakit perutku yang kembali terasa. Haduuh.
"Dalam kondisi terdesak seperti itu, para prajurit harus mampu mengatasi penderitaan, tidak boleh membocorkan informasi yang dimilikinya," tutur Arusha yang menjadi penutup pembahasan kali ini. Karena kami akan segera sampai di lokasi 'kamp tawanan' dengan Alvin yang sudah berada di lokasi lebih awal dan sedang menyiksa para prajurit.
Meski dalam keadaan perut yang melilit, aku masih sempat bingung dengan situasi ini. "Sha, bukannya tadi prajurit-prajurit itu pada lolos ya? Waktu itu aku lihat mereka lolos dari tantangan Anza, kan?" Aku menunjuk pada tiga orang taruna yang aku kenali wajahnya—tapi tidak dengan nama mereka—telah lolos saat Anza memberikan mereka tantangan sewaktu diperjalanan.
Arusha yang mengikuti arah tunjukku, terhadap para taruna yang sedang Alvin gempur mentalnya, kembali tersenyum.
Jenis senyuman jahat menurutku, alias tidak ikhlas!
"Jangan bilang kalau .... "
Ucapanku terpotong karena Arusha lebih dulu menyelanya. Bahkan tanpa aku minta pun, dia menjelaskan sukarela padaku.
"Mereka memang bukan prajurit yang tertangkap sewaktu Anza memberikan tantangan, tapi bukan berarti mereka lolos dari neraka."
Senyum menyeringai dari Arusha semakin terpatri pada wajahnya yang tidak lagi terlihat segar seperti pagi tadi.
Aku jadi merasa ngeri. Terlebih saat melihat mereka yang disiksa mendekati batas daya tahan manusia.
Seketika rasa sakit pada perutku semakin menjadi-jadi. "Berapa lama mereka akan menjalani siksaan ini? Kasihan tahu lihatnya," ujarku sambil menahan sakit pada perutku yang terus memberontak. Tapi ada rasa prihatin ketika aku melihat keadaan para taruna yang tidak terlihat kelelahan, malah terlihat semangat. Walaupun sebagian dari mereka menunjukkan gejala 5L : lemas, lelah, letih, lesu dan linglung.
Arusha mendengkus tidak suka, ketika aku menunjukkan wajah prihatinku terhadap mereka. "Bahkan dulu, saya di didik lebih dari ini," cibir Arusha, seperti anak kecil yang sedang merajuk saja.
Aku mendelik pada Arusha. Tanganku masih setia bersidekap. "Kok kamu malah sewot sih, aneh!"
Arusha berdecak, sebelum kembali menjelaskan padaku, "Selama tiga hari mereka akan menjalani latihan di kamp tawanan. Dalam ‘kamp tawanan’ semua siswa akan menjalani siksaan fisik yang nyaris mendekati batas daya tahan manusia."
Aku hanya meringis sambil menahan rasa ngeri. Membayangkannya saja membuat aku nyaliku menciut. Aku pun tidak tahan untuk tidak merintih kesakitan, akibat rasa mual karena perut yang melilit dan juga melihat siksaan yang diterima oleh para prajurit itu.