Sorry for typo
~Happy reading~Beberapa bulan di sini ternyata cukup membuat daya tahan tubuhku melemah. Aku memang jarang sakit, tapi sekalinya sakit pun tidak separah dulu. Ini hanya demam biasa karena akhir-akhir ini aku lebih sering tidur malam dan banyak makan angin sepertinya.
Untuk itu, aku akan mendapatkan update terbaru tentang pendidikan ini melalui Hani, karena baik Arusha maupun Anza tidak pernah berbagi cerita padaku, seolah itu menjadi hal yang haram mereka bicarakan jika membesukku di pleton kesehatan.
Saat menyendiri seperti ini, saat banyaknya para anggota calon Kopassus yang belum berhenti di didik, aku terdiam sendu. Merasa kasian sekaligus iba dengan penderitaan yang dialami oleh para prajurit ini. Mereka yang dengan setianya membela dan mengabdi pada negara, bahkan saat belum benar-benar menjadi prajurit sejati saja sudah di didik keras seperti sekarang.
Demi membuat kita—para warga negara—dapat hidup aman dan tentram. Sedangkan mereka—para tentara—dengan jiwa dan raganya telah rela berkorban sejauh ini. Hidup matinya hanya untuk negara. Bahkan mereka diajarkan untuk tidak pernah takut akan kematian demi membela tanah air.
Aku mengintip dari celah tempatku duduk sekarang, para calon anggota yang di siksa dengan berat. Bahkan masih menerima pendidikan saat jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Sebelum tidur, Hani seperti biasanya bercerita padaku, "Latihan di Nusakambangan ini ternyata merupakan latihan tahap akhir, Mbak. Oleh karena itu, ada yang menyebutnya sebagai hell week atau minggu neraka. Sumpah, ngeri banget sih denger namanya aja udah serem."
Ucapan Hani memang terdengar sedikit seram. Aku mengibaskan selimut yang menutupi setengah tubuhku dan melilitkannya hingga separuh tubuhku sudah tertutup oleh selimut. Kecuali pada bagian wajah.
Istilah Hell Week ini seketika membuatku merinding, bahkan untuk sekedar membayangkannya saja aku tidak sanggup. "Terus Han, gimana lagi?" desakku pada Hani, menuntut cerita lebih banyak darinya.
Dengan semangatnya, Hani kembali bercerita padaku. Dia bahkan tak segan-segan untuk berekspresi pada setiap hal yang membuatnya ngeri, merinding, takut atau bahkan tidak suka. Hani menurutku, terlalu jujur karena dengan ekspresinya saja, orang-orang akan tahu bahwa dia sedang berkata jujur atau tidaknya.
"Kata orang-orang yang aku wawancara sih yang paling berat itu materi latihan ‘pelolosan’ dan ‘kamp tawanan’ Mbak,” ujar Hani.
Aku terdiam, agak sedikit tidak mengerti dengan istilah yang Hani sebutkan, seperti layaknya pada film-film perperangan saja, bukan?
"Bukannya ‘pelolosan’ dan ‘kamp tawanan’ itu terlalu mirip sama istilah saat perang, bukan sih?" tanyaku dengan mengutip kata 'pelolosan' dan 'kamp tawanan' dengan dua jari; jari telunjuk dan jari tengah.
Hani dengan cepat menjentikkan jarinya di depan wajahku. Aku sedikit terkejut dengannya, hampir saja terjengkang saking kagetnya. "Tepat sekali!" ujarnya semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, Black! [END]
ChickLitJika kamu merasa dunia tidak berporos padamu, cobalah berhenti sejenak. Tengoklah ke belakang, ada aku yang selalu menjadikanmu sebagai duniaku. Satu pesanku sebelum aku pergi, berjanjilah untuk terus hidup seperti biasanya. Jika kamu sedih, ingatl...