BBB [9]

315 23 0
                                        

Sorry for typo
~Happy reading~

Kamu tahu definisi kesal yang sangat membuat kamu ingin memaki terus menerus? Bahkan tak peduli dengan sebuah gedoran dari pintu yang terdengar layaknya orang yang kebelet pergi ke toilet yang penuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamu tahu definisi kesal yang sangat membuat kamu ingin memaki terus menerus? Bahkan tak peduli dengan sebuah gedoran dari pintu yang terdengar layaknya orang yang kebelet pergi ke toilet yang penuh. Saat pikiranmu hanya terisi oleh rasa amarah yang menumpuk, kepulan asap seolah-olah keluar dari kepalamu. Ingin sekali memasukan kepala kita ke dalam kulkas agar bisa berpikiran jernih saat ini.

Tapi tentu saja, aku masih cukup waras untuk tidak melakukan kegiatan bodoh tersebut. Aku lebih memilih berdiri, jalan mondar-mandir tidak jelas selama bermenit-menit, hingga akhirnya terduduk di tepi ranjang dengan gelisah.

Aku menarik napas secara serakah dan menghembusnya secara kasar. Siklus itu aku ulang berkali-kali.

Bodoh! Bodoh! Bodoh!

Aku bahkan melihat ponsel yang tergeletak dengan luapan emosi yang meletup.

Sumpah, deni apapun aku ingin mencakar-cakar wajah dia! Makan dia aja sekalian kalau perlu!

Di satu sisi, ingin rasanya aku membantingkan apa saja, agar perkara yang membuatku terlihat seperti orang yang bodoh bisa aku reset dari memori otak dan tak pernah mengingatnya. Sampai kapanpun!

Tapi di sisi yang lain juga, aku paham. Justru kalau aku melampiaskan kekesalanku, pastinya akan terjadi hal sangat aku sesali.

Seperti sekarang.

Saat aku melirik, ada dering telepon dari ponselku yang masih setia tergeletak di atas meja belajar. Aku menatapnya dengan mata melotot, mencomot asal ponsel dan mendeal panggilan tersebut tanpa melihat id name penelepon.

Amarahku masih belum menemukan titik bekunya, sehingga aku duluan yang memulai percakapan dengan emosi yang meledak-ledak. "APA, HUH! LO MASIH MAU NGATAIN GUE LAGI, IYA?! GAK PUAS LO SAMA YANG TADI LO BILANG?! LO ITU EMANG BE—"

Ucapan gue terhenti, karena suara di seberang sana terasa asing bagi gue.

"Naura?"

Mulutku terkatup rapat dengan mata yang mengerjap pelan. Seolah-olah baru saja mendapatkan kesadaran yang baru. Karena penasaran, aku melihat identitas penelepon. Nomor yang tidak dikenal. Mendadak wajahku terasa panas, bahkan aku dapat merasakan bahwa hawa panas itu sampai ke telingaku. "I—iya?" jawabku kikuk.

Aku berharap orang ini bukan orang-orang di masa laluku. Atau aku tak akan pernah merasakan hidup damai karena olok-olokan dari mereka.

Aku yang masih merasa malu dengan tingkahku ini, hanya karena mendengar suara tawanya, moodku seolah-olah membaik. Suara tawanya memang renyah, crunchy.

Suara tawa itu terhenti, digantikan oleh suara bass yang menggema. Penuh penekanan dan tegas. Seolah pada kalimatnya tidak ada sebuah keraguan di dalamnya. Aku tertegun sejenak, sesaat setelah mendengar kalimat pertama yang dia terlontarkan seperti kalimat pernyataan, mendengar suaranya saja, aku sudah tidak asing.

Bye-bye, Black! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang