Jika kamu merasa dunia tidak berporos padamu, cobalah berhenti sejenak. Tengoklah ke belakang, ada aku yang selalu menjadikanmu sebagai duniaku.
Satu pesanku sebelum aku pergi, berjanjilah untuk terus hidup seperti biasanya. Jika kamu sedih, ingatl...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kali ini kami sudah sampai di Cilacap. Banyak para pelatih dan prajurit lainnya yang sedang sibuk membuat tenda mereka, padahal hari sudah menjelang malam. Aku sangat beruntung pada Hani yang memang memiliki kemampuan untuk membangun tenda. Karena katanya dia suka ikut kegiatan camping di sekolahnya. Apalagi tenda kami tidak terlalu sulit untuk didirikan.
Jadi saat para taruna sedang berlatih, kami berdua sibuk untuk membangun tenda. Agar pada saat malam tiba, kami dapat beristirahat dengan santai seperti sekarang.
Kami duduk bersampingan di dekat tenda, duduk beralaskan tikar kecil yang aku bawa dari Batujajar—milik Ayah sebenarnya—yang ternyata akan bermanfaat di saat-saat seperti ini. Aku pun jarang melihat kehadiran Ayah saat pelatihan kopassus ini, wajar saja sij, mungkin Ayah sibuk mengurusi pekerjaannya yang lain.
Di tengah kesibukan—kegabutan—kami melihat para taruna yang sedang berlatih, Hani menyodorkan padaku sebuah mug kecil. Dari aromanya saja, aku sudah tahu isi cairan yang ada pada mug kecil itu.
"Wah, dapet dari mana Han? Seneng banget, makasih ya Hani," ucapku bersemangat. Menerima mug berisi kopi capuccino kesukaanku.
Hani sepertinya terhibur dengan tingkahku. Karena dia tertawa begitu melihatku yang menghirup aroma kopi pemberiannya. "Tadi saya di kasih kopi ini sama Mas Alvin," ujar Hani dengan sedikit kikuk.
"UHUK-UHUK!"
Aku memukul pelan dadaku, karena tersedak kopi. Dalam hati terus saja menyesali tindakanku ini.
"Aduh, Mbak. Hati-hati ... mau aku ambilkan teh hangat saja?" tawar Hani yang masih diliputi kepanikan.
Hani membantuku untuk meredakan rasa tidak nyaman akibat tersedak tadi, dengan menepuk-nepuk punggungku. "Sudah, Hani. Terima kasih," ucapku tulus.
Hani masih saja memandangku dengan cemas. "Beneran Mbak, gak mau aku bawakan minuman hangat lainnya?"
Aku menggeleng lemah. Bagaimanapun juga kopi adalah minuman yang paling aku tunggu-tunggu. Karena semenjak berada di hutan, stok kopiku telah habis. Jadi ini adalah saat yang paling aku nantikan.
Tapi masalahnya bukan pada kopinya, tapi pada orang yang memberikannya!
Tumben sekali orang seperti Alvin ini memberikan aku kopi, aku sangsi dengan kebaikannya ini. "Hani, memangnya ini benar dari Kapten Alvin?"
Hani mengangguk sebanyak dua kali, namun sekarang disertai senyum kecil di ujung bibirnya. "Aku juga gak nyangka Mas Alvin segini baiknya loh, Mbak. Padahal kelihatannya nyeremin, ihh!"
Reaksi Hani yang merinding ngeri itu, mengingatkan aku pada perlakuan Kapten Alvin yang tidak menolerir kesalahan anggota saja. Aku semakin tidak percaya bahwa kopi yang sudah aku habiskan ini berasal darinya.