Jika kamu merasa dunia tidak berporos padamu, cobalah berhenti sejenak. Tengoklah ke belakang, ada aku yang selalu menjadikanmu sebagai duniaku.
Satu pesanku sebelum aku pergi, berjanjilah untuk terus hidup seperti biasanya. Jika kamu sedih, ingatl...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku mengambil napas dengan banyak. Bukan tanpa alasan aku melakukan ini, tapi karena lima naskah fiksi remaja yang dilimpahkan padaku pada hari dan dengan deadline yang sama. Sangat mengerikan! Padahal ada rekan kerjaku yang memiliki jam kerja yang bebas, Santi contohnya. Ah, penyalahan jabatan namanya!
Tapi aku tidak punya cukup waktu untuk mengeluh, naskah-naskah ini sudah harus selesai sesuai deadline jika aku tidak mau kena tegur dan ingin bertahan lebih lama di sini. Tak masalah, hidupku pernah jauh lebih rumit daripada pekerjaan ini. Semangat!
Aku memfokuskan pikiranku pada layar monitor yang menampilkan puluhan ribu kata yang harus seleksi, agar menjadi novel yang layak dibaca dan tidak membuat orang yang membacanya merasa sakit mata. Saking berantakannya naskah-naskah ini, perut yang belum aku isi semenjak siang tadi, mulai mengeluarkan suara yang sangat menganggu pendengaranku.
Aku melirik kubikel tempat teman-temanku, hanya tersisa lima orang lagi dari sepuluh orang yang satu ruangan denganku. Santi sudah pergi sejak jam empat sore tadi. Sementara aku dan orang-orang baru harus mendekam lebih lama, bahkan sampai melembur mungkin? Aku meregangkan otot-otot tangan, melenturkan leher dan mencoba senam kecil untuk merilekskan tubuhku. Selama tiga jam ini, aku berhasil menuntaskan satu novel yang tidak perlu banyak penyuntingan kata, aku bersyukur pada penulisnya yang tidak membebankan naskahnya kepada editor yang menangani naskahnya.
Senyumku terbit seketika, merasa puas dengan kinerjaku hari ini. “Penulis yang pengertian,” pujiku.
Aku berjalan menuju dapur lantai sepuluh yang berada di ujung ruangan lantai ini. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai gedung, menggema. Padahal masih ada beberapa orang lagi yang belum pulang, tapi aku merasa berada di ruangan asing, sendirian.
Untungnya di dapur aku bertemu dengan salah satu anggota HDR yang sedang istirahat. Rista.
Rista menyunggingkan senyumnya saat melihatku datang. "Sore, Ra!" Aku membalas senyumnya dan balik menyapanya. "Sore juga, Ta."
Aku mengambil serbuk kopi, cream, gula dan mulai meraciknya sesuai dengan takaran kopi kesukanku. Saat aku sedang menuangkan air panas pada mug yang berlogo salah satu merk kopi ternama, aku mendengar Rista menggumamkan kata Santi. Aku dan Rista memang beda selisih umur dua tahun saja, dengan Rista yang lebih tua dariku dan sangat enggan dipanggil dengan embelan Mbak, Kak, atau apapun yang memperlihatkan perbandingan umurnya yang jauh di atasku. Terlihat tua dan kuno, katanya, tempo lalu.
"Ta, mau aku buatkan kopi?" kataku sambil mengaduk-aduk satu kopi khusus untukku.
Rista terlihat menimbang, lalu berujar, "Boleh, jangan terlalu banyak gulanya ya," pesan Rista yang aku ingat.
Tak butuh lama untuk membuat kopi itu segera jadi, kini kami sudah duduk saling berhadapan dengan mangkok bekas makanan yang Rista disimpan di sisi meja. Aku menghirup aroma kopi yang menyeruak dari mug yang masih mengepul, kebiasaanku sebelum meneguk kopi.