Jika kamu merasa dunia tidak berporos padamu, cobalah berhenti sejenak. Tengoklah ke belakang, ada aku yang selalu menjadikanmu sebagai duniaku.
Satu pesanku sebelum aku pergi, berjanjilah untuk terus hidup seperti biasanya. Jika kamu sedih, ingatl...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku pulang ke daerah Kemang jauh sebelum jadwal kepulanganku. Karena permintaan nyeleneh dari Raka dan Ibu yang terus mendesakku untuk segera pulang. Maka, aku merelakan waktu liburku untuk mengunjungi rumah Ibu. Padahal rencananya, aku ingin bersantai di hari libur dan melakukan kegiatan memanjakan diri seperti me time hingga menghabiskan waktu luangku di salah satu salon kecantikan dan spa.
"Bu ..." seruku.
Aku sudah sampai sejam yang lalu, dijemput oleh Kafka yang sekarang mengambil waktu luang kuliahnya dengan bekerja. Aku juga bingung dengan Kafka yang sudah seharusnya menamatkan kuliahnya jauh-jauh hari, sekarang ini malah sibuk mengurusi kantor Papa.
Namun karena belum ada tanda-tanda kehadiran Ibu, aku memilih memijat kakiku dulu yang terasa pegal dan kebas. Rasa pegal-pegal ini terus berlanjut dari lusa kemarin.
Lalu aku kembali teringat percakapanku dengan Kafka sewaktu tadi menjemputku.
•ווו
Kami seharusnya tidak melewati blok M di jajaran Senayan Residence ini. Keningku berkerut hingga berlipat-lipat, aku menoleh pada Kafka yang pandangannya sibuk meneliti setiap jalan di luar sana.
"Kenapa lo bawa kita ngeliling perum ini sih, Ka?"
Kafka sepertinya belum menyadari pertanyaanku, terbukti dari dia yang belum menanggapi ucapanku dan terlihat sibuk dengan dunianya. Karena kesal diacuhkan, padahal aku sudah merelakan jadwal liburku. Hanya demi menuruti permintaan Ibu, tidakkah Kafka memberikanku apresiasi, gitu?
"Kafka!" Intonasiku mulai naik. Ternyata berpengaruh pada Kafka yang akhirnya menoleh padaku, sambil memutar setir ke kiri. Berhenti di sebuah perum bernomor 220 dan 202 di seberangnya.
"Kenapa ke sini?" tanyaku ulang datar. Kentara sekali jika aku tidak menyukai tindakan yang Kafka lakukan. Bagaimanapun juga, aku tahu betul siapa orang yang tinggal di perum ini. Terlebih rumah yang berada di seberang nomor 220.
Aku berdecak kesal, ternyata Kafka masih saja bersikap melankolis seperti ini. "Lo seharusnya udah lupain dia, Ka," ujarku tegas. Karena menurutku tidak ada toleran dalam hal ini.
Semuanya harus tegas atau kau akan berakhir pada lubang yang kau gali sendiri.
Aku melihat cengkraman tangan Kafka pada setir mobil mengeras. Untuk itu, aku berinisiatif untuk pindah tempat duduk. Kafka dan emosi selalu tidak sinkron. Perpaduan yang bahaya jika aku berada disekitarnya sebelum Kafka hilang kendali.