Jika kamu merasa dunia tidak berporos padamu, cobalah berhenti sejenak. Tengoklah ke belakang, ada aku yang selalu menjadikanmu sebagai duniaku.
Satu pesanku sebelum aku pergi, berjanjilah untuk terus hidup seperti biasanya. Jika kamu sedih, ingatl...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mungkin otak Arusha tertinggal di Cilacap kemarin, sehingga sekarang dia lebih sering berbicara sepenggal kata saja padaku. Membuatku jadi gemas sekali.
Belum lagi tindakannya yang mengikutiku masuk ke asrama Ayah sambil menggenggam tanganku!
Tidak sadarkah bahwa tindakannya itu membuat banyak ibu persit lainnya melirik pada kami? Ah, aku lupa. Dia kadang bisa menjadi titisan pria yang tak peduli dengan keadaan sekitar.
Lalu sepertinya ada yang salah dengan tubuhku, hanya karena genggamannya. Perutku seolah merasakan mual, dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat.
Aku pun kesulitan untuk menyamakan langkahku dengannya karena tungkaiku yang terasa lemas. Sehingga aku berjalan terseok-seok mengikutinya.
"Arusha, ngapain kamu ke sini?" Bukannya tak suka, hanya saja sedikit tidak mengerti dengan tindakannya.
Pertanyaanku hanya tersapu oleh angin saja, karena Arusha terus berjalan hingga kami pun sampai di depan asrama Ayah.
Dari depan teras, aku melihat sepertinya Ayah sedang kedatangan tamu. Aku menggeram frustasi dalam hati.
Segitu cepat kah, Ibu ke sini?!!
Aku pun memaksakan tubuhku yang terasa lunglai ini untuk masuk.
Di sana, pada ambang pintu. Aku dan Arusha dibuat membatu bersama. Bahkan lewat gengaman tangannya, aku tahu bahwa tangannya berkeringat dingin. Hingga akhirnya gengaman kami pun terlepas.
"Saya di sini bermaksud untuk meminang putri Bapak ...." Hanya sepenggal kalimat itu yang masih aku ingat. Sisanya hanyalah dengungan tidak jelas seperti lebah-lebah.
Aku merasakan tatapan berbeda dari Arusha pada laki-laki yang kini sedang berhadapan dengan Ayah. Tatapannya menyiratkan sebuah luka, dingin dan juga tajam menusuk.
"Sepertinya kamu sudah tidak perlu bantuan saya lagi. Ada yang sudah lebih dulu melakukannya, saya permisi."
Meskipun ucapannya terdengar sopan, tapi aku tahu bahwa jarak itu, kini mulai terlihat di antara kami.
Aku hanya melihat punggung Arusha yang kian menjauh, enggan untuk mengejar karena aku tahu bahwa itu akan berakhir sia-sia. Kalimat terakhirnya memperkuat asumsiku tentang maksud kedatangannya.
Tapi itu percuma saja, dia sudah pergi. Aku masuk dengan membawa tubuh yang semakin lemas. Aku menghiraukan keberadaan pria itu dan langsung menyalimi Ayah.
"Yah, Naura pamit dulu. Ada yang tertinggal di perum," kilahku.
Sebelum mendengar jawaban dari Ayah, aku langsung pergi tanpa membawa barang-barang apapun dari asrama Ayah. Hanya baju-baju yang kemarin aku bawa ke Pusdiklatpassus saja yang kini aku bawa menuju taksi online yang baru aku pesan.