Lelaki itu

13.7K 1.1K 355
                                    

Hari ini tembus 500 vote + 200 komen langsung aku up lagiiii😂😂😂 hayooo bisa nggak?

Kalo nggak nggak papa.. Wkwkw
Up nya besokkk lagii😂💞💞💞💞

Acara makan siang bersama rekan kerja Qadri berjalan dengan lancar, suasana terasa begitu hangat diiringi selingan canda tawa.

Semuanya nampak begitu menikmati, kecuali Dinda. Wajah wanita itu nampak ketakutan, badannya terasa begitu lunglai seolah-olah semua tulangnya dilolosi begitu saja hanya karena tatapan itu, Dinda tau tatapan itu.  Tatapan iris hijau komplit dengan seringai yang entah apa artinya.

"Din, kamu temani Bagas dan bapak ngobrol sama keluarganya Mister Delago saja. Biar Sumi yang cuci piring."

Dinda mengangguk tipis mengiyakan titah sang mertua yang sudah berjalan mendahuluinya keruang tamu.

Dengan terpaksa Dinda bergabung disana, meski hanya duduk diam namun ia merasa begitu lelah. Ia lelah pura-pura tersenyum dan baik-baik saja padahal batinnya meronta begitu kuat, lelaki yang tak lain adalah ayah anaknya itu menatapnya dengan begitu intens, seolah melucuti pakaian Dinda. Berkali-kali Mister Delago sudah menegur putranya itu, namun lelaki itu nampak tak acuh.

"Kayanya umur Dinda dan Maxie nggak selisih jauh ya?" Sela Paulla.

Dinda dengan ragu mengangguk "sepertinya begitu."

"Wah, Bagas beruntung banget ya dapet gadis muda, cantik, kalem, pinter masak lagi." Ujar Paulla menatap Dinda kagum, Dinda benar-benar memenuhi kategori menantu idamannya. Sayangnya wanita muda itu sudah bersuami bahkan sedang mengandung.

"Saya yang beruntung bisa dapat mas Bagas, Aunty."

Bagas yang sejak tadi mengobrol dengan bapaknya, Arnold dan Max menoleh kearah Dinda yang duduk disampingnya, entah angin apa yang membawa Bagas merangkul Dinda dengan begitu mudahnya, seolah mereka benar-benar pasangan bahagia.

"Kamu bisa istirahat dikamar kalau kamu capek sayang." Ujar Bagas menatap Dinda benar-benar lembut, hingga membuat Dinda terlena begitu saja seolah lupa ini semua hanya sandiwara.

"Saya antar Dinda ke kamar dulu." Pamit Bagas.

Bagas menggenggam tangan Dinda dan membawa istrinya ke kamar. Tanpa aba-aba Bagas menggeret tangan Dinda kencang saat mereka sudah berada di kamar, dan melempar tubuh kurus Dinda ke kasur yang tak terlalu empuk itu.

"Mas!" Pekik Dinda reflek memegang perutnya.

Tatapan lembut Bagas yang ditunjukan pada semua orang tadi hilang begitu saja, diganti dengan tatapan dingin dan tajam.

Lelaki itu mencengram rahang Dinda erat dengan tangan kirinya.

"Katakan! Ada hubungan apa kamu dengan Max!" Desis Bagas tajam penuh selidik.

Dinda menggeleng pelan.

"Masih mau berbohong?!" Desak Bagas dengan cengkraman yang kian mengencang di rahang Dinda.

"Di-dia--

Bagas membungkam mulut Dinda dengan ciuman brutalnya, mencurahkan segala emosinya melalui lilitan dan gigitan dibibir dan lidah Dinda.

Dalam sekali hempas tubuh Dinda kini berada dalam kuasa Bagas.

Ciuman itu semakin dalam dan menuntut hingga membuat Dinda kepayahan.

"Aku tau siapa lelaki itu. Jangan coba-coba menemuinya atau kamu akan tau akibatnya!" Desis Bagas beranjak dari tubuh Dinda.

Dinda meneguk ludahnya susah payah lalu mengangguk tipis.

"Bereskan semua barangmu! Kita pulang sekarang." Titah Bagas mutlak sebelum lelaki itu menghilang dibalik pintu.

"Kau kasar sekali bung."

Bagas menatap tajam lelaki muda yang berdiri di depan kamarnya entah sejak kapan.

"Bukan urusanmu." Desis Bagas.

Max tersenyum pongah "tentu saja urusanku, wanita itu adalah ibu dari anakku." Kata Max menekan kata anakku.

Bagas mengerarkan kepalan tangannya, sama sekali bukan kebiasannya untuk meladeni omongan tengil seorang bocah.

"Bagaimana rasanya menggunakan bekasku?" Pancing Max, namun Bagas masih dengan gayanya yang terkesan tidak peduli.

Bagas kembali melangkahkan kakinya menuju ruang tamu.

"Oh iya, bagaimana kalau nenek tua itu tau kalau menantu yang sejak tadi ia bangga-banggakan ternyata mengandung benih bukan dari anaknya?" Ujar Max membuat Bagas menghentikan langkahnya.

"Apa mau mu?" Tanya Bagas to the point.

Max tersenyum penuh arti "Aku mau anakku."

Bagas sontak tersenyum mengejek "Ambilah. Kamu pikir aku sudi mengurusi anak sialan dari benih bocah tengil sepertimu?"

Bagas mendekati Max dan menepuk bahu lelaki itu seraya berbisik sesuatu dan sepertinya itu sukses membungkam mulut Max.

Dinda yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu lemas seketika, berbagai spekulasi memenuhi otaknya.

Dinda tak ingin berpisah dari anaknya, tak peduli bagaimana proses hadirnya, anak ini tetaplah darah dagingnya. Tak ada satu orang pun ibu di dunia ini yang mau terpisah dengan anaknya, begitu juga Dinda.

"Mama nggak akan biarin satu orang pun memisahkan kita, sayang. Mama janji."

Setelah proses pamitan yang cukup alot antara Bagas dan Ibunya, akhirnya kini mereka berada dalam perjalanan pulang.

Bukannya Bagas tak menyadari bahwa sejak tadi wajah  Dinda begitu mendung, terlihat lebih menyedihkan daripada biasanya.

Apa ini karena Max? Apa Dinda menginginkan Max?

Batin Bagas bertanya-tanya. Jika memang begitu, tak akan Bagas biarkan Dinda hidup dalam ketenangan!

Akan lebih baik Dinda mengingat dan merasakan semua penderitaan yang Bagas torehkan daripada mengingat Maxime Fucking Delago itu!

Cutt cuttttt

Mana nihhh

Dinda - Maxime

Or

Dinda - Bagas

Atau masih ada team Golput?

HURTS [END/COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang