Dinda menatap empat kantong plastik besar yang diletakan Bagas dimeja pantry.
Setelah sampai dirumah tadi, Bagas menurunkan Dinda didepan gerbang dan melesat entah kemana.
"Masaklah sesuatu. Aku lapar." Titah Bagas, Dinda pun mengangguk. Wanita itu mengikuti langkah Bagas menuju dapur.
Dalam diam, keduanya menata bahan-bahan makanan lengkap dengan bumbu, sayur, buah bahkan cemilan ke dalam kulkas.
Tak butuh waktu lama, Bagas mencuci tangannya setelah selesai menata semua barang belanjaan yang ia beli secara kilat tadi, ekor matanya melirik Dinda yang nampak sibuk menyiapkan bahan-bahan yang ia masak.
Sedikit banyak, Bagas menikmati pemandangan itu. Pemandangan yang menjadi angan-angan Bagas sejak dulu kala, menyaksikan tubuh mungil Dinda dalam balutan daster rumahan sedang sibuk menyiapkan makanan untuk mereka diiringi dengan senyuman tulus dan lirikan manja. Semuanya begitu indah dalam angan Bagas kala itu, berbeda dengan saat ini.
Rasa sakit dan kecewa itu selalu menghantui Bagas.
"Auh!"
Lamunan Bagas terhenti kala mendengar pekikan Dinda, dengan sigap lelaki itu menghampiri Dinda yang nampak kesakitan memegang telunjuknya.
Tanpa banyak bicara Bagas membawa Dinda duduk di kursi meja makan dan segera mengambil kotak P3K.
"Kapan kamu berhenti bertindak bodoh dan ceroboh!" Sungut Bagas kala ia memakaikan plester luka di telunjuk Dinda.
"Maaf mas.."
"Maaf mu nggak akan bisa mengembalikan semuanya. Tidak semua kesalahan yang kamu buat hanya bisa ditebus dengan kata maaf." Ujar Bagas mendalam dan penuh arti, lirikan tajam lelaki itu seolah melemah.
Rasa nyeri menjalar begitu saja di dalam dada Dinda kala mendengar perkataan Bagas.
"Bereskan semuanya, nafsu makanku sudah hilang." Titah Bagas meninggalkan Dinda yang masih termenung dalam diam.
Entah keberanian darimana Dinda menahan tangan Bagas, matanya menatap lelaki itu penuh permohonan.
"Sekali saja.. Duduk disini, temani Dinda makan mas." Pinta Dinda dengan tatapan penuh harap.
Bagas nampak menimang, batinnya bimbang pula. Ia ingin namun egonya seolah menahan keinginannya itu.
"Hanya sekali." Bujuk Dinda.
"Jangan terlalu banyak menuntut." Jawab Bagas angkuh, lelaki itu menghempaskan tangan Dinda begitu saja. Menyisakan luka dihati wanita itu.
Keesokan harinya.
Bagas menatap Dinda yang nampak sudah rapih dalam balutan kemeja oversize yang menutup lebih dari separuh paha berwarna ungu, lengkap dengan sneakers putih dan tas slempang putih senada keluar dari kamarnya.
"Hari ini Dinda izin pergi ke rumah sakit ya mas."
Bagas reflek menaikan sebelah alisnya "kamu pikir aku akan memberimu izin untuk keluar dari rumah ini?!" Tantang Bagas dengan nada ketus.
"Entah benar ke dokter atau bertemu dengan lelaki bajingan itu aku pun tidak tau." Imbuh Bagas penuh nada cemooh.
Dinda diam, wanita itu menunduk dalam tanpa berniat menunjukan wajahnya yang sudah basah dengab air mata tersebut.
Benar kata pepatah, sekali kita mematahkan kepercayaan orang, selamanya kita tak akan pernah dipercaya kembali.
"Buatkan aku sarapan. Cepat! Aku tunggu dibawah!" Titah Bagas sambil melewatu tubuh Dinda, lengan kokohnya menyenggol bahu Dinda yang nampak rapuh, hingga membuat Dinda hampit terjengkal.
Dengan langkah gontai, Dinda melepaskan sepatunya dan melemparnya asal ke kamarnya bersamaan dengan tas slempang yang tadi menggantung indah di pundaknya.
Mulai mengikat rambutnya asal dan menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan yang diminta Bagas.
Sepiring nasi goreng dengan telur dadar serta air putih tersaji di depan Bagas dengan sempurna dan menggugah selera setelah sebelumnya lelaki itu sibuk menyaksikan punggung sempit Dinda yang dengan cekatan memasak sarapan untuknya.
Bagas bukannya tak tau bahwa Dinda menangis, mengenal bahkan merawat Dinda sejak masih bayi membuat Bagas hafal betul bahasa tubuh Dinda.
Namun ia memilih diam, tak ingin ambil pusing dan memilih untuk fokus pada sarapannya.
Dinda memilih untuk duduk disebrang Bagas sambil menikmati susu hamil yang Bagas beli kemarin.
Limabelas menit berlalu, Bagas beranjak dari kursinya, tanpa sepatah kata pun, ia meninggalkan Dinda, seolah Dinda benar-benar tak ada.
"Kunci semua rumah, pastikan wanita itu tidak bisa keluar dan menemui siapapun. Kalau dia membantah, ikat saja kakinya." Titah Bagas pada dua orang berbadan kekar, dan berwajah sangar yang entah sejak kapan dan sampai kapan berdiri di depan pintu utama.
"Baik pak."
Dinda mendesah pasrah, wanita itu memilih kembali ke kamar dan menelfon bundanya untuk mengalihkan segala rasa yang berkecamuk di dadanya.
"Assalamualaikum Bundaa.."
"Waalaikumsalam anak cantiknya bunda.."
"Bunda, ayah, bambang, nakula sama Sadewa apa kabar? Dindutt kangenn."
Suara kekehan Secha terdengar dari sebrang, wanita empat orang anak itu menatap putrinya lembut.
"Kita semua baik-baik aja, kamu baik kan sayang? Bunda juga kangen sama kamu."
"Dinda baik bun.. Baik banget."
Secha tersenyum lembut disebrang sana
"Nggak salah ayah sama bunda percayain kamu ke Bagas."
Dinda mengangguk tipis.
Setelah mengobrol cukup lama akhirnya Secha terpaksa memutuskan sambungan telfon mereka, karena putra kembarnya menangis.
Tok tok tok
"Tuan Bagas menunggu ibu dibawah, tolong segera turun nyonya."
Dinda yang baru saja akan tertidur terpaksa bangun dan turun sesegera mungkin.
Saat ia tiba diruang tamu ia tak menemukan Bagas dimanapun, apa lelaki itu marah lalu pergi?
Namun tak lama Dinda mendengar klakson mobil Bagas, wanita itu pu segera keluar.
"Cepat naik!"
Dinda yang hanya mengenkan daster dan sendal jepit itu nampak tak mengerti, namun ia tak membuang waktu.
"Kita mau kemana mas?"
Tanya Dinda sambil memasang seat belt nya.
Bagas diam tak menjawab, lelaki itu fokus memacu kuda besinya tapa menghiraukan Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
HURTS [END/COMPLETE]
ChickLit#1 on HURTS [26/06/20] #15 on TEARS [28/07/20] Biarlah aku dan kamu tetap menjadi kita dalam lubuk hati terdalamku Menguncimu bersama jutaan kenangan yang pernah kita lalui dan bagi, menjadikannya sebuah memori terindah dan pembelajaran hidup berhar...