Pria Gugup

13.7K 1.1K 395
                                    


Hallohaaa....
Maaf ya baru sempat up😆

Cuss heppii reading..

Coment yang banyakkkk biar aku dobel Up

Votenya janhan lupa!!!

"Pagi mas."

Bagas tersenyum simpul menatap Hayu yang nampak sibuk berkutat dengan peralatan dapurnya, padahal ini masih jam enam pagi, namun wanita itu sudah sesibuk ini, dan bahkan ia pun sudah mandi dan berdandan sederhana namum begitu cantik demi menyambut pagi suaminya.

"Pagi." Jawab Bagas sambil menerima kopi yang baru saja selesai Hayu seduh.

"Hari ini adik masak oseng hati sapi, kol rebus sama sambal mas." Ujar wanita muda itu menatap suaminya berbinar.

Bagas mengangguk tersenyum sambil mengusap puncak kepala Hayu yang tertutup jilbab, sebab wanita itu masih belum terbiasa tampil tanpa jilbab di depan siapapun termasuk Bagas. Namun berbeda urusan jika menjelang malam, karena Bagas akan bersikeras membuat Hayu tampil 'sepolos' mungkin.

Hayu adalah tipikal gadis yang begitu penurut, sabar, perhatian, dan pandai mengurus suami serta rumah. Singkatnya ia adalah istri idaman, bahkan tak sekalipun Hayu membantah perkataan Bagas selama dua bulan resmi menjadi sepasang suami istri, yang ada justru wanita itu menuntunnya untuk menjadi yang lebih baik lagi.

Jarak usia mereka yang terbilang cukup jauh pun seolah tak menjadi masalah untuk Hayu, karena bagi Hayu, Bagas adalah orang pertama yang bisa membuatnya jatuh cinta.

Meskipun dalam hatinya Hayu tau bahwa sang suami belum seratus persen move on dari mantan istrinya, terbukti beberapa kali Bagas masih sering keceplosan memanggilnya dengan sebutan Bhi atau Din.

"Mas mandi dulu gih, nanti kita sarapan sama-sama." Bagas mengangguk tanpa banyak protes ia meninggalkan Hayu kembali menuju kamarnya dan segera mandi, karena perutnya mulai keroncongan sejak mencium aroma oseng hati sapi buatan Hayu yang tiada duanya itu.

Kedua sejoli itu kini tinggal disebuah rumah sederhana yang berada di kawasan pedesaan, Bagas yang memilih, sebab lelaki itu tak ingin menempati rumah lamanya yang ia tinggali bersama Dinda dulu.

Selesai mandi dan bersiap, Bagas kembali lagi menuju meja makan dengan Hayu yang nampak anteng menunggunya disana.

"Mas.. bulan depan Kang Mas Ikhsan akan melamar putri seorang Kyai di Jogja. Ibu mau minta tolong sama kita supaya ikut. Mas mau?"

Bagas membisu sejenak.

Yogyakarta, destinasi favorit dirinya dan...Dinda.. kota yang menyimpan banyak kenangan antara dirinya dan pujaan hatinya dulu, kota yang seolah menjadi saksi bisu bagaimana ia menghabiskan malam-malam romantis penuh kenangan manis tak terkupakan bersama Dinda. Mengapa hatinya terasa sangat ngilu? Membayangkan ia akan menghabiskan waktu di Jogja bersama Hayu membuat Bagas merasa mengkhianati Dinda.

Ada apa dengan Bagas ini? Padahal Hayu jelas-jelas istrinya. Mengapa ia merasakan perasaan aneh ini ? Tiap kali ia mencoba mengenyahkan Dinda  mengapa bayangan cinta pertamanya itu justru muncul semakin kuat?

"Mas?"

Bagas terperanjat, lelaki itu reflek meletakan sendoknya dengan cukup kencang, dan hal itu membuat hayu terkejut.

"Mas kenapa? Tanya Hayu pelan sambil mengusap lengan Bagas.

"Mas ikut." Jawab Bagas sedikit ragu, namun agaknya Hayu tak menangkap keraguan Bagas.

"Oke deh, cuma dua hari kok." Ujar Hayu tersenyum senang, keduanya lantas melanjutkan  sesi sarapan mereka.

Disisi lain

"Mbak Din.. dicari mas Fikri tuh."

Wanita berstatus janda yang kini mulai tampil dalam balutan hijabnya itu dalam diamnya menggerutu sebal.

Ia datang kemari untuk menimba ilmu dan memperdalam ilmu agamanya, bukan untuk mencari jodoh. Lagipulaia hatinya belum siap dan belum mau menerima orang lain. Sungguh, dari dulu dan saat ini hanya ada satu orang yang bertahta di hatinya.

Meski banyak luka yang saling mereka torehkan, namun cinta di dalam hati Dinda tak serta merta luntur begitu saja.

"Iya Put, aku selesaikan ini dulu." Jawab Dinda yang sibuk dengan cuciannya.

"Biar Putri aja mbak yang selesaikan. Mbak temui Mas Fikri aja." Ujar gadis belia yang baru saja lulus sekolah menengah atas itu.

"Heh! Ngawur kamu." Sewot Dinda, bagaimana tidak, gadis itu adalah putri bungsu Kyai Adam, pemilik pesantren tempatnya kini menimba ilmu agama.

Putri tersenyum jahil "buat calon kakak ipar, putri ikhlas mbak, putri rela."

Dinda berdecak sambil memutar bola matanya malas.

"Yasudah. Ini tinggal jemur aja kok, mbak temui mas mu dulu." Ujar Dinda, lelah juga kalau harus berdebat dengan gadis yang kabarnya akan dilamar oleh putra Kyai dari Jombang dalam waktu dekat ini.

Dinda melangkah meninggalkan area kamar mandi dan tempat mencuci para santri itu menuju gerbang perbatasan antara santri lelaki dan perempuan sambil sesekali membenarkan letak jilbabnya.

Manik mata Dinda tertuju pada seorang lelaki tinggi, kurus, tegap, berkulit putih dan berwajah kalem dengan hiasan kumis tipis dan rambut disisir klimis yang nampak sedang mengobrol bersama beberapa santri lelaki disebrang gerbang.

"Assalamualaikum Us- ehm, Mas Fikri." Sapa Dinda dengan pandangan menunduk.

Dinda hampir lupa bahwa Fikri melarangnya untuk memanghil lelaki itu dengan sebutan ustadz.

Ketiga orang lelaki yang tadinya mengobrol bersama lelaki bersama Fikri itupun undur pamit.

Lalu lalang para santri cukup ramai, hingga Fikri pun tak segan mengajak Dinda mengobrol berdua, karena bukan sebuah rahasia bahwa Fikri memang menaruh rasa pada Dinda sejak kedatangan wanita itu pertama kali, bahkan ketika mengetahui masa lalu Dinda yang cukup kelam itu pun Fikri tak mundur, dan justru semakin gencar.

Lelaki berusia 29 tahun yang  telah menyelesaikan gelar sarjananya disalah satu perguruan tinggi negeri di Yogya beberapa tahun yang lalu itu kini disibukan dengan usaha ekspor impor, toko oleh-oleh dan usaha batik yang telah  merambah pasar internasional itu seolah terpikat dan jatuh cinta pada Dinda pada pandangan pertama.

"Walaikumsalam Din." Jawab Fikri mencuri pandang pada Dinda.

"Putri bilang mas mau ketemu sama saya, ada apa ya mas?"

Fikri berdehem sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, oh ayolah.. mengapa ia selalu gugup dan berdebar saat berhadapan dengan Dinda?

"Mas?" Tanya Dinda mendongak sambil menatap Fikri, hingga membuat pandangan mereka bertemu membuat Fikri memalingkan wajahnya sambil beristighfar.

"Ehmm enggak papa Din, nggak jadi. Mas permisi, Assalamualaikum" ujar Fikri gugup setengah mati lalu meninggalkan Dinda begitu saja, melupakan niatan awalnya untuk menanyakan tentang kedua orang tua wanita pujaannya itu ada waktu, karena ada niatan penting yang akan Fikri sampaikan.

Dinda melongo seketika.

Cuttt...

Yuk, kita diskusi.. jadi gimana?

HURTS [END/COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang