Aku Melepaskanmu

18.2K 1.3K 233
                                    

Haiii haiii haiiiii

Selamat malam ibu2, kakak2, mbak2, sistur2

Minal aidzin wal faidzin!!! Maaf lahir batin ya guysss... may Allah bless u and your fams.. salam sayang Emaknya Seto😘🤣

Cusss.. hepi reading All

Malam semakin larut, namun Dinda masih betah menutup matanya justru wanita itu terlihat semakin damai.

Hati Bagas semakin kalut, rasa khawatir itu kian menguasai pikirannya. Entah sudah berapa kali lelaki itu mengusap kasar pipinya yang basah akibat lelehan airmata.

Bagas benar-benar merasa berasalah, andai malam itu ia tak kalut, terbawa emosi dan melampiaskannya pada Dinda hanya karena kedatangan Max.

Bagas hanya terlalu ketakutan kalau Dinda akan memilih Max, pikirannya buntu, ia tak tau lagi bagaimana caranya agar tetap bisa menahan Dinda.

Ia pernah memberi Dinda kebebasan, kepercayaan, limpahan kasih sayang dan cinta, namun yang ia dapati justru sebuah pengkhianatan dan penipuan. Wajar bukan ia kecewa dan was-was?

Ia tidak ingin kehilangan Dinda. Cinta pertamanya.

Klasik memang, hampir empatpuluh tahun hidup namun Bagas tak pernah merasakan cinta yang sedalam dan sehebat ini pada seorang wanita kecuali Dinda.

"Om Bagas jangan menikah ya?"

Bagas melirik Dinda kecil yang sedang duduk termenung sambil memainkan tongkatnya.

Gadis cilik dengan mata jernih namun terlihat kosong menatap kedepan itu tiba-tiba menolehkan kepalanya kearah Bagas.

"Kenapa?" Tanya Bagas sambil mengusap surai lembut gadis itu.

"Pokoknya jangan.. tunggu Dinda besar dulu baru om boleh menikah." Ujar gadis itu kekeuh, membuat Bagas terkekeh seraya bertanya kenapa.

"Soalnya kata bunda, Bhira boleh menikah kalau Bhira sudah besar."

Tawa Bagas tak dapat dibendung, lelaki itu menangkup kedua pipi ranum gadis itu.

"Jadi Bhira mau menikah sama om?" Gadis itu mengangguk semangat.

"Kalau begitu, om janji akan menikah sama Bhira kalau Bhira sudah besar besok, nanti Bhira jadi kaya bunda dan om jadi kaya ayah."

Pagi menjelang

Dinda membuka kedua kelopak matanya yang terasa berat, menyesuaikan sinar mentari yang datang menyelinap melalui celah jendela.

Pandangannya mengedar, meneliti setiap sudut ruangan mencari seseorang. Namun nihil, ia sendirian.

Hanya nampan berisi semangkuk bubur, segelas susu dan beberapa obat serta salep yang tersedia diatas nakas.

Jarum jam menunjukan pukul delapan pagi, pasti lelaki itu sudah berangkat ke kantor, pikir Dinda.

Namun salah, dugaan wanita itu meleset kala sosok pria itu muncul dari balik pintu kamar yang tak terkunci itu.

Dengan wajah datarnya, Bagas berjalan mendekati Dinda hingga membuat wanita itu harus menahan nafasnya dalam-dalam karena perasaan takut itu menghinggapinya begitu saja.

"Sudah tidak panas." Ujar Bagas seraya menempelkan punggung tangannya di kening Dinda.

"Habiskan makananmu dan minum obatnya." Titah Bagas tagas, lelaki itu berjalan keluar kamar, namun tiba-tiba langkahnya terhenti.

"Limabelas menit lagi aku kembali, dan  aku tidak ingin melihat ada  sisa makanan di mangkukmu." Imbuh lelaki itu tanpa menatap Dinda.

Dinda menatap kepergian Bagas dengan tatapan kecewa. Bukan.. bukan ia kecewa akan sikap Bagas, wanita itu kecewa karena ucapan maaf yang semalam ia dengar hanyalah mimpi belaka.

Bahkan di dalam mimpinya Bagas menangis sambil mendekap erat tubuhnya, namun sayang.. sekali mimpi tetaplah mimpi. Lagipula Bagas tak mungkin sudi untuk melakukannya.

Wanita itu pun memilih untuk memakan buburnya sebelum lelaki itu kembali, ia tak mau memancing keributan dengan Bagas. Cukup baginya, ia berdoa semoga hujan cambuk yang kemarin ia terima adalah yang pertama dan terakhir.

Limabelas menit berlalu, Bagas kembali memasuki kamar Dinda dengan perasaan tak menentu.

Mata Bagas memincing kala tak melihat Dinda di atas ranjang. Namun tak lama, Bagas mendengar pekikan tertahan dari arah kamar mandi.

Tanpa aba-aba, Bagas mendorong pintu kamar mandi yang tak terkunci itu begitu saja, karena terlalu panik.

"Mass!" Jerit Dinda sambil berusaha menutup tubuh polosnya dengan kedua tangan mungil miliknya.

"Kenapa?" Tanya Bagas setengah berteriak.

"Mas kenapa masuk?" Tanya Dinda balik.

"Kamu kenapa berteriak?" Tanya Bagas kembali.

Hey! Bisakah salah satu dari mereka menjawab?!

"Airnya kepanasan." Lirih Dinda membuat Bagas diam-diam bernafas lega.

Tanpa izin lelaki (hampir) setengah abad itu menarik tubuh polos Dinda ke bawah shower.

Seketika Dinda memejamkan matanya erat kala Bagas melepas kaos dan celananya, menyisakan sebuah celana pendek dan ketat disana.

Dinda semakin menegang kala telapak tangan Bagas yang begitu lebar itu bertengger di pundaknya, seiring dengan air hangat yang mengalir dari shower.

Perlahan namun pasti, Bagas menggerakan telapak tangannya menuju dada wanita itu, dan menyentuh luka-luka bekas cambukannya dengan begitu perlahan.

"Ini yang terakhir." Bisik Bagas sebelum membawa Dinda kepelukannya.

Terakhir? Apa maksudnya.

"Aku melepaskanmu." Bisik Bagas parau.

Duarr!!

Bak batu yang hancur dihantam godam. Hati Dinda remuk seketika, reflek wanita muda itu mendorong tubuh besar Bagas, hingga pandangan yang sama-sama menyiratkan luka itu bertemu.

Dinda menggeleng pelan, dengan batin  yang semakin ngilu.

Bagas menangkup pipi Dinda dengan pandangan lembut, sorot mata yang begitu menenangkan namu  terluka dalam waktu yang bersamaan.

Dibawah guyuran shower itu setidaknya air mata Bagas tersamarkan.

"Kita akan berpisah setelah dia lahir. Aku akan memberikan nama belakangku untuknya."

Lagi-lagi Dinda menggeleng sambil terisak.

"Lebih baik kita berpisah dengan baik-baik, daripada terus-terusan saling menyakiti dan tersakiti seperti ini. Lagipula anakmu tetap akan berstatus sebagai anakku kan?"

Dinda berjinjit memeluk leher Bagas dan terisak disana.

"Siksa aku sepuas kamu, lukai aku semaumu. Aku ikhlas asal kamu selalu disisiku.." bisik Dinda.

"I love you..." tiga kata yang Dinda ucapkan sebelum kegelapan itu merenggut kesadarannya.

Cut ibuu ibuuu😭😭😭😭

Gimana ini?

Team pisah!

Team Jangan Pisah!

HURTS [END/COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang