Chapter 3

258 23 1
                                    

"Hiks sa-kit ya allah" berusaha mengumpulkan kesadarannya, ia tak boleh pingsan. Jangan sampai.

Ia mendudukkan tubuhnya yang sedikit ling-lung itu di lantai dingin kamarnya, memegang jidatnya yang sudah banyak keluar darah. Tangannya penuh cairan kental berbau anyir tersebut.

"Hiks sa-sakit banget" rasa sesak memenuhi rongga dadanya ketika sepintas ingatan Dafil yang berperilaku kejam menghinggap kepalanya. Sebesar apakah dosanya sampai mendapatkan cobaan seperti ini, batinnya bertanya pada diri sendiri.

Memejamkan matanya kuat-kuat sambil terus terisak, bibirnya pun masih bergetar.

"A-ku salah apa hiks?" tanya Leysa sambil berusaha berdiri dari lantai dingin itu. Sepertinya ia harus segera membersihkan luka di jidatnya agar darah tak bertambah banyak lagi.

Dengan berjalan pelan-pelan dan menggunakan dinding sebagai tempat menahan tubuhnya, akhirnya ia bisa mengambil kotak P3K yang memang selalu disiapkannya. Karena sudah sering terjadi hal ini padanya. Maka dari itu ia selalu menyiapkan P3K.

Perlahan namun pasti ia membersihkan lukanya dengan beralatkan cermin kecil dan kapas serta alkohol. Sedikit meringis saat ia memberikan beberapa tetes betadine namun ia tetap menahannya sampai selesai.

Leysa tersenyum kecut ketika melihat jidatnya sudah diperban. Melihat luka itu sama saja dengan mentransfrer sakit hati. Dafil benar-benar keterlaluan padanya, tapi ia bisa apa selain diam saja saat lelaki itu menyiksanya. Rumit sekali hidupnya.

Berjalan menaruh kembali kotak P3K itu ke tempat semula, lalu ia berjalan ke toilet tak mandi hanya mencuci muka dan menyikat gigi saja. Aktivitas sebelum tidur.

Keluar dari toilet ia langsung saja mengganti pakaian dengan piyama pinknya. Lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur, berusaha memejamkan matanya agar tertidur nyenyak dan dapat melupakan kejadian menyedihkan yang baru saja menimpanya.

.

.

.

Leysa melangkah masuk ke dalam gerbang sekolah. Sambil memberi salam kepada pak satpam, ia tersenyum manis. Pak satpam itu membalas senyumnya, namun hanya beberapa detik ketika melihat jidat gadis muda itu terperban.

"Loh jidatnya kenap dek?" tanya pak satpam. Logat jawanya masih menempel diucapannya.

Leysa terdiam sejenak lalu memegang perban tersebut, ia tersenyum, "oh itu pak, semalam kejedot pintu" jawab Leysa diiringi tawa palsunya.

Pak satpam mangun-mangun saja, namun sedikit bingung. Pasalnya gadis itu hampir setiap hari membawa luka di tubuhnya, baik di wajah, jidat, lengan, betis, dan lain-lain. Ia sempat menduga apakah Leysa mendapatkan kekerasan dari orangtuanya atau gadis itu memang sedikit ceroboh.

"Pak satpam aku masuk dulu yah"

"Iya dek"

Gadis itu pun kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas 12 yang berada di lantai dua gedung. Banyak mata memandangnya sinis, tapi ia tak memperdulikannya. Toh ia datang untuk bersekolah bukan mencari musuh ataupun ketenaran seperti siswa-siswi lain.

Langkahnya terhenti ketika tiga orang gadis menghalangi jalannya. Siapa lagi kalau bukan primadona di sekolah ini. Cerly, Sita, dan Rina. Mereka menatapnya dengan tatapan jijik seolah dirinya adalah sampah masyarakat yang tertumpuk dan mengeluarkan bau busuk.

Cerly, ketua dari geng atau apalah itu, Leysa tak tahu dan tak ingin tahu. Dia mengapit hidungnya dengan jari ibu dan telunjuk.

"Ieeww lo bau banget. Ke sekolah gak mandi apa" ucap Cerly keras hingga membuat siswa-siswi yang mendengar ucapannya tertawa. Tak menunggu lama sampai kata-kata mengandung hinaan itu memasuki telinga Leysa.  Ia hanya diam, lagipula tuduhan mereka tidak benar adanya. Ia ke sekolah selalu mandi dan memakai parfum walaupun hanya berharga belasan rupiah tapi ia tetap memakai parfum.

Kesempatan KeDuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang