Apa yang paling menakutkan dari seorang manusia?
Wajahnya kah?
Fisiknya?
Kelakuannya?
Jawabnya bukan semua itu.
Yang paling menakutkan dari seorang manusia adalah kejiwaannya, psikisnya, mentalnya, atau kondisi psikologisnya.
Ketika seorang anak, terlahir di dunia dan tak pernah diajarkan kasih sayang orang tua, tidak pernah diajarkan kepadanya bahwa membunuh itu suatu tindakan yang salah, tidak pernah diajarkan kepadanya bahwa sesama manusia itu harus hidup damai dan saling menyayangi.
Apa yang akan terjadi kepada mereka?
Ketika dia melihat semuanya dari kacamata pragmatis untung dan rugi, ketika semua keputusannya hanya diambil karena pertimbangan logika tanpa nurani, ketika rasa kemanusiaan dan belas kasihan tak pernah dia kenal sejak dini.
Apa yang akan terjadi kepada mereka?
Ketika mereka diajarkan pengkhianatan dibenarkan demi melindungi diri sendiri, ketika orang di sekeliling mereka tak berarti dalam usaha mempertahankan diri, ketika tangan mereka terasa ringan untuk mengayunkan senjata ke orang lain tanpa pernah mengasihani.
Apa yang akan terjadi kepada mereka?Mereka adalah monster.
Berkulit manusia, berfisik manusia, berbicara layaknya manusia, tapi mereka tak lagi manusia. Karena tak ada konsep kemanusiaan yang diajarkan kepadanya, karena survival instinct dan logika saja yang selama ini dijejalkan ke otak mereka.
Dan monster itu tak hanya seorang saja, mereka berlima. Dan kini kelima monster itu sedang duduk di sebuah meja yang berada di sebuah ruangan mewah berdinding kaca di sekelilingnya. Ruangan yang berada di lantai 120 salah satu hotel termewah di East District.
Seorang gadis cantik berpakaian minimal terlihat berdiri tak jauh dari mereka dengan raut muka pucat pasi dan tegang. Dia dicekam ketakutan. Siapa yang tidak takut ketika mendapatkan tugas untuk melayani kelima monster menakutkan yang sekarang berada di dalam ruangan ini?
Tapi, sebagai manager dari Hotel mewah ini, dia harus melakukannya, jika tidak ingin mendapatkan masalah yang lebih besar lagi tentunya.
“Si Tua Bangka cari gara-gara lagi, kalau dia bukan District Leader dan Professor tidak melarangku membunuhnya, aku sudah menghabisinya dari dulu,” sungut salah seorang remaja itu sambil mengunyah daging panggang yang ada di depannya.
Remaja itu, atau lebih tepatnya gadis itu, memiliki tubuh yang seksi dengan rambut bergelombang eksotis dan kulit kemerahan. Wajahnya cantik dan membuat setiap laki-laki yang memandangnya akan terbawa ke khayalan erotis seketika. Sebuah busur terlihat di tergantung di pundaknya lengkap dengan anak panah yang tak pernah terlepas di ikat pinggangnya.
Dia adalah Adel.
“Adel, dari dulu sampai sekarang, tetap saja kau seperti itu, temperamental,” komen remaja lain yang memiliki kulit gelap dan terlihat santai sambil menikmati minumannya.
Selain kulitnya yang hitam, tak ada yang mencolok darinya. Mungkin hanya sebuah kacamata yang tergantung di bagian depan dada yang sedikit menarik perhatian. Kacamata itu sangat khas, biasanya digunakan oleh para ilmuwan dari West District untuk membantu penglihatan mereka yang rabun jauh. Dan si bocah Negro ini mengenakannya.
Dia adalah Gama.
Ketiga anak lainnya terlihat lebih banyak terdiam dan menikmati hidangan mereka.
Mungkin selama ini mereka tak pernah akrab di Pulau. Ataupun kalau akrab, lebih ke arah persaingan seperti yang terjadi dengan Adel dan Tian, tapi ketika mereka berada di Dunia Bawah selama beberapa bulan terakhir belakangan ini, mereka sadar, tak ada yang lebih baik dan bisa membuat mereka nyaman dibandingkan orang yang bisa memahami mereka.
Dan yang bisa memahami monster seperti mereka tentunya adalah monster sejenis lainnya.
Selama ini, aturan rimba tertanam kuat dalam diri mereka. Siapa yang terkuat, dialah yang harus dituruti. Untuk bertahan hidup, apa pun bisa dilakukan. Mereka hidup dengan kewaspadaan secara terus menerus dari sejak mata terbuka di pagi hari sampai tertutup kembali di malam hari.
Mereka bahkan sudah terbiasa menyiapkan jebakan dan alat pendeteksi musuh sesaat sebelum memejamkan mata untuk beristirahat di malam hari. Mereka selalu dihantui rasa kuatir, mereka takut di saat mereka terlena, akan ada sesuatu atau seseorang yang menggunakan kesempatan itu untuk menghabisi nyawa mereka.
Semua itu, mereka jalani selama puluhan tahun. Sejak mereka masih kecil hingga berusia belasan tahun. Kewaspadaan, naluri survival, rasa tak percaya kepada lingkungan sekeliling, egoisme, semuanya terbentuk dan seolah sudah mendarah daging dalam tubuh mereka, tak terpisahkan lagi.
Ditambah lagi dengan interaksi social yang selama ini sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Di Pulau, mereka tak pernah diajarkan untuk menghormati yang lebih tua. Mereka tak diajarkan untuk menyayangi yang lebih muda. Mereka juga tak pernah diajarkan tentang hubungan keluarga.
Hanya ada diri mereka sendiri, dan juga soulmate mereka, yang pada akhirnya, mereka harus saling membunuh satu sama lainnya.
Dan seperti yang diharapkan oleh Professor, dalam diri mereka, di saat mereka menghabisi nyawa satu-satunya orang terpenting dalam hidup mereka dengan tangan mereka sendiri, tak ada lagi ikatan sosial yang berlaku dan mengikat mereka.
Mereka sendirian.
Mereka tak memiliki hubungan.
Mereka berlima berkumpul di tempat ini, semata-mata karena mereka semua merasa, bahwa hanya mereka berlima lah yang bisa saling memahami di antara mereka sendiri.
Di saat mereka berada di tengah penduduk Dunia Bawah lain, mereka selalu merasa menjadi seekor binatang buas yang sedang dirantai lehernya dan dipertontonkan sebagai hiburan bagi pengunjung sirkus atau kebun binatang.
Ditambah lagi, dengan kemampuan di luar nalar yang mereka miliki, mereka merasa dapat dengan mudah mendominasi manusia lain yang ada di sekeliling mereka. Mereka bisa menjadi orang yang terkuat di masing-masing District. Dan sesuai norma yang kelima remaja ini pahami selama di Pulau, yang terkuat lah yang seharusnya dituruti.
Karena itu, timbul lah konflik untuk yang pertama kalinya mereka alami. Mereka harus menundukkan kepala dan mengikuti perintah District Leader masing-masing. Itu kali pertama mereka mengenal istilah menundukkan kepala kepada yang lebih lemah.
Dan sampi detik ini, mereka masih belum menerimanya dengan sepenuh hati.
“Kita berlima, kita habisi masing-masing District Leader kita, lalu kita gantikan mereka menjadi pemimpin Dunia Bawah!!” kata Koga dengan nada dingin sambil meletakkan sendok dan garpu ke atas piringnya.
Si gadis cantik Manajer Hotel yang berdiri tak jauh dari mereka dan mendengarkan kata-kata Koga barusan hampir saja kencing berdiri di tempatnya. Mereka sedang berbicara tentang rencana pembunuhan District Leader seolah-olah itu adalah suatu hal yang remeh dan bisa dilakukan kapan saja?
Tapi sesaat kemudian, Si Gadis teringat pesan pemilik hotel ini beberapa jam lalu.
“Apapun yang terjadi, bersikaplah seolah-olah kau tak mendengar apa yang mereka bicarakan!”
Itulah pesan Pemilik Hotel mewah ini kepadanya. Gadis cantik itu pun menarik napas dalam dan mencoba meredakan rasa takut yang tadi sempat berkecamuk hebat dalam dadanya.
“Dasar bar-bar!! Gunakan kepalamu jika ingin mengatakan sesuatu!”
Sebuah suara pelan bernada teguran yang dingin dan ketus terdengar menanggapi perkataan Koga. Keempat orang remaja lainnya lalu menoleh ke arah suara itu berasal dan tak ada yang mengatakan apa pun untuk membantahnya.