Bab 14*

25 7 3
                                    

Merisa dengan lembut mengusap rambut Azalea, membuat putrinya menatap dirinya dengan perasaan yang teramat kecewa.  Namun,  Merisa hanya tersenyum begitu hangat kepada putrinya.

“Bukannya kamu sudah tahu jawabannya?” tanya Merisa dengan senyum yang sedari tadi tidak luntur.

Bagai api yang panas menjalar ke seluruh relung hati Azalea. Gadis itu tidak menyangka bahwa benar ibunya yang telah mengambil nyawa adik Revan.

“Renata,” ucap Azalea datar menatap langit-langit tempatnya di layani para pelayannya.

Merisa terkejut mendengar ucapan putrinya, dia bingung bagaimana bisa anaknya mengetahui nama korbannya itu? Pikirnya berkecamuk.  Wanita paruh baya itu mencoba mengatur posisi duduknya mencoba menetralkan keterkejutannya, tangannya pun dia turunkan dari kepala putri tersayangnya.

“Bagaima.....” ucapannya tergantung setelah mendengar putrinya ingin melanjutkan perkataannya.

“Kenapa aku yang harus menjadi senjatanya Bu?” Gadis itu menangis kembali saat mengucapkan perkataannya barusan.

Azalea begitu sakit dengan semua kenyataan yang menimpa kehidupannya.  Terlahir dengan keluarga yang menganut ilmu dukun menjadikan kecantikan dan uang segala-galanya, hingga melupakan tujuan hidup itu untuk bahagia.

Sedangkan wanita cantik itu hanya diam, tapi senyumannya tidak pernah pudar meski dia sangat kaget mengapa Putrinya bisa tahu.  Ya,  yang namanya iblis memang seperti dia.  Dalam keadaan apapun juga tetap tersenyum.

“Ya,  kamu benar tumbal hari ini adalah Renata anak dari Tn. Reno,  bagaimana sayang? Apa hasilnya sangat memuaskan?  Kamu bahkan jauh lebih cantik lagi,” ujar Merisa merasa bangga akan hal yang dia lakukan,  sedikit terkekeh Merisa kembali mengelus rambut indah putrinya.

Namun,  sebelum tangannya menyentuh kepala putrinya.  Azalea langsung menepis kasar tangan Merisa.  Dia menatap tajam ibunya dengan mata yang mengisyaratkan bahwa gadis itu kecewa.

“Jangan pernah sentuh aku!  Apa Ibu tidak tahu?  Bagaimana sakitnya aku,  aku di benci olehnya Bu!” Gadis itu berteriak meraung di depan ibunya.  Tatapannya mengisyaratkan begitu terluka dengan semua perbuatan ibunya. 

“Kenapa Ibu begitu tega kepadaku!” Azalea kembali menjerit dengan sangat begitu menyakitkan. Dia kini bisa mengingat saat dirinya mendorong gadis seumurannya, mencekiknya pula hingga rasanya kepala Azalea seolah ingin pecah akibat memori buruk itu mengulang-ulang di kepalanya.

Betapa kejamnya Azalea saat dirinya mengingat kembali kejadian di mana hal itu yang membuat seseorang yang sangat dia cintai menatapnya dengan benci.  Mata yang selalu menatap dirinya dengan cinta dan sayang,  suara lembut yang selalu membuatnya merasa ada yang menginginkan kehadirannya. Namun,  kini yang tersisa hanya kekecewaan dan kebencian.

“Sudahlah sayang,  kamu cantik dan kamu akan mendapat gantinya,” ucap Merisa begitu santai kepada putrinya.  Sungguh dia memang pantas menjadi seorang ibu yang tegar, setegar hati iblis yang tidak pernah merasa sedih. Merisa masih terlihat santai sembari menatap cermin yang berada pas di depan ranjang tidur putrinya.  Dia begitu mengagumi kecantikannya, tanpa dia peduli dengan tatapan Azalea begitu kecewa.

“Apa Ibu tidak pernah jatuh cinta?” Tanpa menatap ibunya Azalea bertanya dengan nada suara menuntut jawaban.

Hati Merisa sedikit meremat mendengar pertanyaan putrinya, bagaimana bisa manusia hidup tidak pernah merasakan cinta.  Merisa tentu pernah merasakan cinta hingga dia bodoh sampai memberikan semua miliknya hanya dengan alasan cinta.

Wanita itu kembali mengingat masa lalunya yang begitu menyedihkan dengan adanya cinta,  masa di mana tempat yang dia tuju tetap saja dia tidak bisa mendapatkan cinta.

“Merisa!” teriak seseorang dengan wajah yang berseri-seri, entah karena apa sepertinya gadis yang memanggilnya tengah begitu gembira.

Di tubruknya tubuh Merisa yang mungil, seakan ingin menyalurkan semua kebahagiaan yang dia punya. Dengan deru napas yang tersisa karna berlari untuk mengejar sahabatnya Merisa.

Merisa membalas pelukan sahabatnya itu,  mengusap tubuh hangat yang sedang memeluknya begitu erat. Merasa ada suatu hal yang membuat sahabatnya sebahagia ini Merisa lalu bertanya, “Kenapa kamu, hem?”
Gadis itu malah semakin mengeratkan pelukannya,  seakan ingin terbunuh kehabisan napas keduanya.  Terlihat jelas rona merah di pipinya.  Senyum di bibir yang terbilang cukup tebal itu terus mengembang, membuat wajah manis itu semakin manis. Mungkin manis jeruk akan kalah dengannya.

“Kamu tahu Mer?” ucapnya begitu antusias. Detak jantungnya dapat Merisa rasakan begitu kencang.

“Enggak,” jawab Merisa jujur.  Merisa pun terlihat berpikir aoa yang dia tahu? Tapi tetap jawabannya dia tidak tahu.

Gadis yang memeluknya mengendurkan pelukannya, dengan wajah yang di buat seolah-olah tengah kesal.  Sedikit mengerucutkan bibirnya dia berdecak,”ish,  kamu mah.”

Merisa sedikit menaikkan alisnya tidak mengerti.  Gadis itu menatap sahabatnya menuntut penjelasan apa yang dia maksud. 

Dengan senyum yang kembali seperti semula, gadis itu menggenggam tangan Merisa dengan erat.

“Rifki melamarku!” dia sedikit berteriak lalu menutupi mulutnya karna kelepasan saat memberitahu sahabatnya.  Sudah tidak di pungkiri siapa yang tidak akan bahagia jika kita di lamar oleh orang yang kita cintai.

Namun,  tidak dengan gadis yang berada di depannya.  Dia merasa sangat kaget dan juga patah.  Seperti seorang yang sedang kehilangan penopang hidup,  seseorang yang menjadi alasannya untuk tetap menjadi orang baik. “Mengapa Rif? Mengapa kamu memilih Erna menjadi pendampingmu? Bukannya kamu telah berjanji kepadaku untuk bersama denganku, di malam itu?  Tapi kenapa kamu mengingkarinya?” batinnya terus bertanya mencari jawaban tapi tentu saja dia tidak akan menemukan jawabannya,  kecuali dia bertanya langsung pada orangnya.

“Apa kamu tidak bahagia mendengarnya?” tanya gadis di depannya, senyum yang sedari tadi terpajang indah sekarang telah luruh menjadi lengkungan sedih.

Bagaimana bisa dalam keadaan seperti ini Merisa bahagia.  Ingin rasanya gadis itu mengatakan kepada sahabatnya bahwa dirinya tidak bahagia,  dirinya tengah patah hati sangat sakit hingga ke sum-sum tulang-tulangnya.  Namun,  dia bisa apa?  Dia hanya sahabatnya dan ya,  memang benar dia hanya simpanannya tapi apa dia juga pantas mendapatkan perlakuan ini dari cintanya?  Tidak! Merisalah yang salah.

“Akh,  aku sangat bahagia,  selamat ya Rena.” Bohong!  Gadis itu berbohong sembari menunduk mengucapkan selamat dengan hati yang tercabik-cabik.

“Mengapa hidupku seperti ini?  Dia yang aku cinta dan akupun menuruti setiap permintaannya,  yang menjadikanku seolah budak kepuasan hasratnya.” Batinnya melirih,  dia memang terlihat tegar tapi hatinya tidak pernah setegar raganya.  Rasanya begitu sakit saat seseorang menyukai kita hanya untuk kepuasan birahi.


Merisa menghapus air matanya yang jatuh begitu saja.  Dia lalu menatap mata putrinya yang juga tengah melamun.  Di lihatnya putrinya yang sedang bersedih,  sama persis dengan dirinya di masa lalu. Tangannya terulur kembali untuk mengelus rambut putrinya. Namun, belum sampai mendarat sempurna dia kembali di kejutkan dengan ucapan Azalea.

“Ibu mengingatnya?  Dia yang Ibu cinta?” ucapan itu membuat hati Merisa sangat tertohok. Jelas dia dan putrinya berbeda.  Dia wanita hina dan iblis.

“Tidurlah saja besok kamu masih sekolah.” Merisa pergi begitu saja tanpa menjawab setiap pertanyaan putrinya.


ODOC30#DAY 14
29 April 2020


Cinta Khayalan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang