sᴇʀᴇɴᴀᴅᴇ

1.6K 125 7
                                    

Suatu saat nanti, bakat itu akan membunuhmu.
.
.
.
Serenade
Rate: T
Genre: Angst
Chara: Halilintar. B
Warn: Halilintar POV, suicide
.
.
.


Semua orang selalu mengatakan kalau diriku berbakat dalam segala bidang. Pelajaran, seni, sastra, olahraga dan bidang-bidang lainnya yang bahkan tidak aku mengerti.

Tetapi berbeda dengan musik. Tidak ada yang menganggapku berbakat dalam bermusik, mereka selalu menyebutku Si Jenius tanpa alasan jelas saat aku memainkan lagu yang kukomposisi sendiri di piano.

Aku tidak tahu apapun tentang jenius ataupun bakat, tetapi mereka selalu memanggilku "Si Jenius Musik: Halilintar" tanpa alasan yang jelas.

Kalau boleh berkata jujur, musik sudah seperti oksigen untukku. Seolah-olah aku dilahirkan untuk memiliki rasa haus pada hal bernama melodi dan irama.

Semua itu kurasakan saat kesepuluh jariku mulai menekan tuts piano untuk pertama kalinya. Perasan cinta entah kenapa keluar dari lagu yang kumainkan, walaupun permainanku saat itu sangatlah buruk.

Sekarang, aku hidup dengan cara bermusik. Aku adalah orang yang disebut-sebut sebagai komposer musik jenius yang dilahirkan dengan otak dan tangan Dewa.

Tidak, tidak, bukan begitu. Berawal dari rasa bosan, aku mulai menulis lirik dan lagu saat berada di bangku SMP, hal itu berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi saat aku menduduki bangku SMA dan mulai mengaransemen serta mengkomposisi laguku sendiri. Aku menulis lagu itu, aku yang mengaransemennya, dan aku yang menyanyikannya. Semuanya murni hasil karyaku.

Tidak disangka, setelah kusebarkan lagu itu di internet, ternyata hasilnya luar biasa. Banyak orang yang menyukai karyaku, aku lumayan senang.

Musik juga caraku lari dari dunia nyata.

Ada sebuah momen di hidupku dimana semua hal yang terjadi terasa buruk dan menyedihkan. Perceraian orangtuaku, meninggalnya teman baikku, sebuah perasaan gelap di hatiku dan musik yang terasa hambar di telingaku.

Maaf, boleh kuulangi?

Iya, musik ciptaanku terdengar hambar seolah tanpa cita rasa.

Aku hampir menyerah waktu itu, hatiku ditutupi rasa takut yang mendalam. Saat itu aku akhirnya mengerti dengan istilah "Senjata yang disebut bakat".

Setiap nada yang kumainkan, setiap lirik yang kutulis, entah kenapa semuanya terdengar sumbang dan menyakitiku lebih dalam lagi.

Perasaan aneh yang mengganjal hatiku, entah sejak kapan mulai menelan emosi positifku. Dunia penuh warna digantikan dengan palet monokrom. Mengerikan.

Tidak ada Si Jenius lagi, tidak ada Pemusik Dewa lagi. Hanya ada sisa cangkang kosong bekas wadah dari bakat dan kejeniusan itu.

Menyedihkan, aku ingin berkata seperti itu. Hari ini lagi, aku masih berusaha untuk mengembalikan bakatku, memaksa pikiranku untuk menciptakan mahakarya indah.

Tidak, tetap tidak ada hasil. Semuanya berakhir nihil. Aku menekan acak tuts pianoku dipenuhi rasa frustasi, kenapa bisa seperti ini.

Tidak boleh seperti ini, tidak boleh begini!

Tanpa musik, diriku seolah tidak dapat bernafas. Tanpanya, aku bukan apa-apa, hanya mayat tanpa jiwa saja.

Kalau benar begitu, bukankah lebih baik bagiku untuk mengakhiri semuanya? Hidupku direbut, tidak ada yang terkesan indah lagi di dunia ini.

Mungkin benar begitu, lebih baik begitu. Aku menempelkan silet berwarna kelabu itu di pergelangan tanganku. Cukup dengan sedikit keberanian aku bisa, sedikit ditekan dan sebuah tarikan kuat untuk memutus nadinya. Aku tidak tahan lagi di dunia tanpa warna ini.

Tidak ada yang namanya bakat, apalagi jenius dalam suatu bidang. Semua itu hanyalah hasil kerja keras seumur hidup, dan menjijikkan sekali rasanya kalau hasil usaha yang dilakukan bertahun-tahun itu hilang begitu saja.

Terkadang aku berpikir, mungkin ada beberapa orang yang menikmati indahnya rasa schadenfreude saat melihat kondisiku sekarang.

Putus asa dan frustasi? Iya, memang. Menggelikan sekali, hal yang kuanggap sepenting nafasku hilang begitu saja.

Kalau dipikir-pikir, sekarang adalah saat yang tepat.

Langit sore itu seolah memanggilku. Perasaan nostalgia yang menyeruak di dadaku terasa menenangkan. Aku dapat mendengar sebuah serenade penghormatan terakhirku.

Waktunya tiba. Aku menjatuhkan diriku, membiarkan tali yang sedari tadi melingkar di leherku itu mencekikku.

Aku tidak menyesali hal ini, tidak akan pernah.

_____________

A.n:

Serenade: Nyanyian yang dilakukan pada sore hari sebagai penghormatan.

Schadenfreude: Perasaan senang saat melihat orang lain mengalami ketidakberuntungan dan kemalangan.

"Senjata yang disebut bakat" adalah lirik di lagu buatan Wataru Sena yang dinyanyikan oleh Sou berjudul "Tayutau Mama Ni". Tapi tenang ini bukan songfict

___________

Tugas sekolahku udah pada selesai, tapi males ku kumpul. Mungkin ini adalah level baru dari istilah rajin di awal malas di akhir.

Belakangan ini sering denger lagu Asphyxia, dan kalian yang tau lagu itu mungkin mengerti kenapa ada kata Schadenfreude.

Ya boi, that's it

Dᴜɴᴄᴇ Cᴀᴘ! -BᴏBᴏɪBᴏʏ Oɴᴇ-ꜱʜᴏᴛꜱ Cᴏʟᴇᴄᴛɪᴏɴ-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang