Part 14

27.7K 1.3K 18
                                    

Happy Reading All...

PoV Namira

Setelah lama tak bertemu, tiba-tiba mas Aldi datang. Menjemput ku untuk memeriksakan kandunganku. Ya waktu itu mas Aldi memang bilang ingin mengantarku, ku kira karena lama tak bertemu mas Aldi lupa.

"Dan apa katanya tadi? Ada pekerjaan di Aceh? Kenapa tak bilang padaku? Selama itu pula? Ah jangankan bilang padaku, meminta nomor ponselku saja lupa bahkan tadi pun saat bertemu kenapa tak minta? Apa lupa lagi? Kenapa selalu lupa sih?"

Selama kepergiannya, entah mengapa aku sangat-sangat merindukannya. Aneh, Sangat aneh! Mas Aldi orang yang telah menyebabkan hadirnya sosok mahluk kecil dirahim ku tapi kenapa aku begitu merindunya? Apakah rasa kagum dulu telah berubah menjadi cinta? Iya kah? Benarkah begitu?

Mama sering mengunjungi ku ketika mas Aldi tak ada, tapi jika aku harus bertanya pada mama rasanya tak enak, aku malu menanyakan mas Aldi.

Tadi setelah mengantar periksa mas Aldi mengajakku makan. Sebenarnya aku masih kesal, pergi tak bilang datang pun tiba-tiba. Mas Aldi meminta maaf padaku walaupun aku kecewa tapi rasanya tak bisa jika tidak memaafkan.

Entah kenapa aku tiba-tiba saja menginginkan es krim, mas Aldi pun membelikan dan saking senangnya memakan es krim aku sampai tak sadar belepotan memakannya, lalu mas Aldi mengelap lelehan es krim itu. Perlakuan sederhananya mampu membuatku tersipu. Sebelum dengan mas Aldi aku tak pernah dekat dengan siapapun, mungkin itu yang menyebabkan ku sering tersanjung dengan perlakuan-perlakuan sederhananya.

Lagi dan lagi pipiku memerah karena perlakuannya. Aku tak sadar tiba-tiba tertidur, mas Aldi membangunkan ku dan ketika membuka kelopak mata wajah mas Aldi ada didepan ku.

Rasanya malu sekali, sudah diantar periksa, makan, beli es krim eh sekarang ketiduran.

Keesokan harinya...

Seperti biasa aku pergi ke toko kue. Hari ini toko tak seramai kemarin, aku duduk sambil minum es teh. Tiba-tiba ada seseorang yg duduk di depanku.

PoV Aldi

Hari ini aku kembali mengunjungi Namira di toko kuenya. Ku lihat dia sedang duduk sambil meminum es teh. Semakin hari kecantikannya semakin bertambah. Ah! apa itu hanya perasaanku saja? Aku yang terlambat menyadarinya? Aku terkekeh memikirkan itu.

"Mas Aldi." Sapanya.
"Ra."
"Capek ya Ra?" Tanyaku.
"Enggak kok mas. Lagi gak begitu rame hari ini." Jawabnya.
"Oh ya tentang ide mas waktu itu Nia kerja disini, dia setuju tidak?"
"Iya mas setuju. Katanya bulan depan mulai kerja disini."
"Oh gitu, syukurlah. Jadi kamu gak akan capek-capek deh. Terlebih sebentar lagi lahiran."
"Iya mas."

Hening...

"Em... Ra. Boleh mas pinjam ponsel kamu?" Tanyaku.
"Eh buat apa mas?" Tanya Namira.
"Ya... Mau pinjem aja sih." Kataku nyengir.
"Ini mas." Kata Namira memberikan ponselnya padaku. Aku menuliskan nomor ponselku lalu mengirim pesan singkat ke ponselku lalu. Hah senangnya aku. Sekarang aku punya nomornya Namira. Yah walaupun dengan cara yang seperti ini tak apalah dari pada aku memintanya langsung rasanya lidahku kelu untuk mengatakan itu.

Setelah selesai aku mengembalikan ponselnya.

"Apa sih mas?" Tanyanya sambil mengutak-atik ponselnya.
"Kesayangan? Loh ini foto mas. Berarti..." Katanya menggantung sambil menatapku.
"Hehe iya itu mas. Kenapa? Gak apa-apa kali Ra. Kan emang iya, mas ini kesayangannya kamu kan?" Kataku nyengir.

Ku lihat Namira hanya menatapku dengan pipinya yang memerah.

"Mas Aldi gak ke Jakarta lagi?"
"Kamu maunya mas ke Jakarta aja ya?" Kataku pura-pura sedih.
"Eh.. eng-enggak gitu mas. Bukan gitu maksud aku."
"Lalu?"
"Ya.. mas Aldi kan kerjanya di Jakarta, tapi sekarang kok masih di Bandung juga?" Tanyanya.
"Oh.. kirain. Mas kan yang punya perusahaan, jadi gak apa-apa dong disini. Mas tinggal mantau dari sini. Kalau ada apa-apa Andre yang tangai." Kataku santai.

🍂🍂🍂🍂

3 bulan kemudian........

Kini sudah tiga bulan mbak Nia bekerja di toko kueku. Aku masih sering datang ke toko meski hanya sekedar duduk-duduk saja.

"Ra, bentar lagi lahiran kan ya?" Tanya mbak Nia.
"Iya ya Ra? Udah gede gitu perutnya." Kata mbak Ina.
"Iya mbak. Sudah sembilan bulan nih. Tinggal nunggu kapan lahirnya aja sekarang mah." Kataku sambil mengusap perut yang sudah membesar.
"Pengen pegang boleh gak Ra?" Tanya mbak Nia.
"Pegang apa?" Tanyaku menggoda mbak Nia.
"Ya pegang perut kamulah Ra." Kata mbak Nia.
"Makanya bilang yang jelas Nia." Kata mbak Ina meledek sambil tertawa.
"Boleh.. boleh.. silahkan pegang. Nih.. nih.. baby nya gerak." Kataku. Mbak Nia dan mbak Ina sangat antusias memegang perutku.

Setelah lama mengobrol tiba-tiba aku merasakan mulas di perutku. Aku terus mengusap-usap agar rasa mulasnya hilang. Memang akhir-akhir ini aku sering merasakan kontraksi palsu dan kini aku merasakan lagi. Tapi, kali ini rasanya berbeda. Mulas dan sakit yang berkepanjangan. Lama menahan tapi rasanya sangat sakit ditambah lagi ada air mengalir di kakiku yang ku tahu pasti itu adalah air ketuban yang sudah pecah. Bulir keringat tercipta didahiku, Aku sudah tak tahan.

"Mbak.. mbak.. aku kayaknya mau melahirkan, tolong anterin ke rumah sakit." Kataku sambil mengatur nafas dan sebisa mungkin tak panik.

Mbak Nia dan Ina memapah ku keluar. Dan untungnya begitu sampai diluar ada orang yang baru saja turun dari taksi, kami pun segera masuk ke dalam taksi tersebut.

Aku segera merogoh tas selempang yang kubawa mencari ponsel untuk menghubungi mas Aldi.

"Mas... Mas... Rara mau melahirkan mas." Kataku pelan menahan sakit yang ku rasakan.
"Oh melahirkan."
"Apa? Melahirkan? Terus gimana? Sekarang dimana Ra?" Katanya panik setelah menyadari yang ku katakan.
"Ini lagi ditaksi mas mau ke rumah sakit."
"Oke mas nyusul kesana sekarang. "

Sambungan panggilan pun terputus. Hari ini mas Aldi bilang sedang banyak kerjaan jadi tak bisa menemui ku hari ini karena sibuk dengan pekerjaannya dirumah mama.

Begitu sampai di rumah sakit aku langsung dilarikan ke ruang bersalin. Dokter Dewi bilang ini baru pembukaan tiga, jadi aku harus menunggu tujuh bukaan lagi untuk melahirkan. Mbak Nia sudah menghubungi ibu dan meminta tolong mengambilkan tas yang berisi bajuku dan anakku nanti dikamar yang sudah ku siapkan.

"Rara sayang." Kata mama sambil mengusap keringatku.
"Ma..."
"Sayang..." Kata mas Aldi. Aku hanya tersenyum membalasnya.

Setengah jam kemudian...

"Sus, kapan Namira melahirkan?" Tanya mas Aldi.
"Nanti pak karena bukaannya belum sempurna."
"Berapa lama lagi? Suster, dia sudah kesakitan seperti itu dan masih harus menunggu lagi?" Katanya frustasi.
"Memang seperti itu seharusnya pak jika melahirkan dengan normal." Kata suster tersebut.
"Ra..." Kata mas Aldi mengusap rambutku. Ku lihat matanya sudah berkaca-kaca.
"Gak apa-apa mas. Aku baik-baik aja." Kataku sambil tersenyum menatapnya.

Setelah lama menunggu, aku merasakan mulas dan sakit yang luar biasa. Dokter memeriksa dan ternyata pembukaannya sudah lengkap, mama menemaniku dalam proses melahirkan sedangkan mas Aldi menunggu diluar.

"Tarik nafas lalu dorong Ra."
Aku mengikuti instruksi yang diberikan dokter Dewi. Mama terus memegang tanganku memberikan support dan sesekali memberiku minum.

Eungh... Huh.. huh.. eungh..

"Ya terus dorong Ra, sedikit lagi."

Eungh... Huh.. eungh...

Oek.. oek.. oek..

"Alhamdulillah" serempak semua yang ada didalam ruangan mengucap syukur.

Setelah dibersihkan mas Aldi ibu mbak Nia dan mbak Ina masuk keruang perawatan ku.

"Cantik sekali cucu nenek." Kata ibu yang sedang menggendong anakku setelah diberi ASI.
"Iya jeng, cantik sekali seperti mamanya." Kata mama.

"Selamat ya Ra." Kata mbak Nia dan mbak Ina bersamaan.
"Iya mbak terimakasih. Terimakasih mbak-mbak ku ini sudah mengantarku ke rumah sakit." Kataku lalu dibalas senyuman oleh keduanya.

Semuanya sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini tinggal aku mas Aldi dan putri kecil kami.

"Mas, dedek bayinya mau dikasih nama siapa?" Tanyaku.
"Aira Putri Wijaya Kusuma" kata mas Aldi sembari melihat dedek Aira.
"Nama yang cantik." Kataku.
"Ya cantik. Seperti ibunya." Kata mas Aldi tersenyum padaku.

Married by Accident (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang