Part 14 | Terkuak

1.7K 97 4
                                    

"Ja–jadi, Luna sudah meninggal dan siapa yang meracuninya belum diselidiki?" tanya Keyra usai mendengar penuturan langsung dari ibu mertua.

Sela mengangguk, lalu bangkit membelakangi Keyra. "Iya, Zaky dulunya benci banget sama mama. Dia selalu menuduh mama yang meracuni Luna. Padahal mama gak pernah berniat jahat seperti itu," jawab Sela.

"Segitu cintanya dia sama Luna, Key. Chat terakhirnya aja gak dihapus. Gimana mau dilupain," lanjut wanita itu.

Keyra tertunduk lesu. Ternyata cinta Zaky kepada Luna begitu dalam. Ia kini tahu kisah kelam percintaan yang disembunyikan suaminya. Luna adalah cinta pertama. Zaky dikenal cuek dan sukar jatuh hati pada wanita. Begitu mengenal Luna, ia tergila-gila. Padahal mamanya tidak setuju karena Luna mantan PSK.

'Ya Allah, hamba terima bila nyatanya, hamba bukan yang pertama. Asal, hapuskanlah rasa suami hamba dengan mantan istrinya.'

'Atau, hapuskan rasa cinta ini untuknya. Maka hamba akan pergi dengan tenang.'

Ia menangis, gelapnya malam membuat segalanya semakin suram. Teringat saat-saat indah ketika bersama. Bergandengan tangan merencanakan masa depan. Berdebat ingin punya anak berapa, lelaki atau perempuan. Saling merangkul jika terpuruk, saling menguatkan bila terjatuh.

Sayup-sayup, lantunan lagu turut menyuarakan emosi dalam nada. Keyra mengusap air matanya yang jatuh. Meski itu percuma, karena mereka tidak ada habisnya.

[Meski ... kubukan yang pertama ....

Di hatimu, tapi ...,

Cintaku terbaik, untukmu ....

Meski kubukan bintang di langit,

Tapi cintaku yang terbaik ....]

Ingin rasanya ia berteriak kencang saat itu juga. Mengapa takdirnya begitu pilu? Ia tak butuh kemewahan, percuma! Lebih baik menikah dengan petani yang hidup sederhana, tapi cintanya luar biasa. Apa gunanya hidup bergelimang harta jika hati suami tak bisa dimiliki? Apa gunanya mencintai sepenuh hati tapi dia tidak membalas sama sekali? Hanya kepalsuan, mengiringi bahtera rumah tangga mereka.

Drrt, drrt!

[Hellow, Sweety! Jangan nangis lagi, please. Kamu jelek kalo matanya bengkak.]

Keyra tertawa garing, ia mencubit pipinya yang gembung, matanya juga bengkak karena menangis sejak tadi. Chat dari siapa ini? Namanya saja tidak terlihat saking sulitnya Keyra membuka mata.

"D–Dokter?"

Senyumnya memudar, ia tersadar jika Rey tahu bahwa ia sedang menangis. Jangan-jangan Rey menguntitnya sejak tadi, tapi di mana?

[Dokter intip aku, ya!]

[Ge'er! Siapa juga yang mau mata-matain bocah tukang nangis kayak kamu. Mending rawat pasien cantik.]

Keyra memonyongkan bibirnya, si dokter selalu membuatnya kesal. Namun, di balik itu ia merasa nyaman dan diperhatikan.

[Terus kalo dokter gak intip, tau dari mana aku nangis?]

[Kan emang kamu suka nangis!]

[DOKTEEER!]

[Yowes, sana tidur! Kamu jangan stres, kasian bayinya. Goodnight!]

Pesan terakhir dari Rey, Keyra tersenyum sendiri. Tidak berniat membalasnya, hanya mengirim emotikon senyum sebagai penutup obrolan. Hari sudah malam dan dingin, perempuan hamil harus menjaga kesehatan. Keyra menutup jendela dan bersiap-siap untuk tidur. Entah mengapa, Rey seperti moodbooster baginya.

Sedangkan di bawah sana, Rey tersenyum tipis melihat tirai jendela kamar itu tertutup. Ia memasukkan ponsel ke saku jaket lalu berjalan pulang.

"Akan kurebut kamu darinya, Key," gumamnya dalam hati.

***

Seorang pria berjaket tebal berjalan pelan melintasi depan rumah Zaky. Ia bak mengawasi sesuatu, matanya liar mencari-cari seseorang di rumah itu.

Entah apa yang dilakukannya, berdiri tanpa tujuan di depan gerbang. Sembari tersenyum sinis, pria aneh itu mendesah kecil. Matanya berbinar tatkala melihat seorang perempuan duduk bersandar di balik jendela kamar.

Merasa cukup, ia pun berlari pelan dan hilang ditelan gelapnya malam.

"Ternyata begitu. Tunggu saatnya nanti."

***

Keyra sudah siap dengan beberapa baju dan pouch untuk obat dan alat make-up. Suasana hati yang buruk, ditambah sebuah kenyataan yang mungkin tidak bisa ia terima sampai kapan pun. Begitu kejamnya Zaky merahasiakan hal sebesar ini. Ya, Zaky telah pernah menikah. Memang belum sempat disentuh, tapi bagi Keyra itu sudah sangat menyakitkan.

"Ke mana ucapan bahwa aku yang pertama? Maafkan Keyra, Kak. Keyra sudah berusaha ikhlas dan menerima, tapi nyatanya itu sulit. Keyra menyerah," gumamnya lalu kembali menitikkan air mata.

Notifikasi muncul di layar ponselnya. Keyra menggeser tombol hijau itu dan mendekatkan ponsel ke telinga.

"Iya, Wi."

[Udah siap? Bentar lagi aku jemput, ya. Mau beli pizza dulu.]

"He'em. Hati-hati," balas Keyra datar.

Usai mematikan sambungan, Keyra terduduk lemas. Pikirannya kacau, hatinya lelah terus menerus dikejutkan dengan berbagai hal yang menyakitkan. Harusnya masa-masa sulit seperti ini, ibu dan ayahnya setia mendampingi. Setidaknya menjadi tempat mengadu kala hati terasa sendu. Namun, bagaimana? Keberadaan dua orang yang begitu berarti dalam hidupnya saja tidak ia ketahui.

Keyra berjalan pelan menuju depan gerbang lewat jalan samping. Siwi sudah menunggu dengan motor matic-nya. Terlihat wajah kekhawatiran terlukis, membuat Siwi meraih tangan sahabatnya itu.

"Kamu kenapa lagi?" tanya Siwi lembut. Keyra menggeleng, ia belum mampu menceritakan semuanya di sini.

"Ya, sudah, kamu naik, ke rumahku sekarang."

Sesampainya di rumah Siwi, Keyra enggan masuk lebih dulu. Ia membiarkan angin malam membelai jilbab biru muda yang dikenakan. Siwi menunggunya di dalam rumah, ia paham Keyra sedang tidak enak hati. Sampai akhirnya Keyra masuk tanpa mendongakkan kepala sedikit pun, Siwi sudah menyiapkan pelukan hangat untuk sahabatnya.

"Nangis, nangis aja, Key. Luapkan semua, jangan ditahan. Menangislah ...," lirih Siwi sembari mengusap puncak kepala Keyra.

Wanita yang lemah tak berdaya itu menangis terisak. Bahunya naik turun, menahan sakit yang teramat sangat. Lagi-lagi Zaky menyakiti, menorehkan luka yang entah sampai kapan akan sembuh.

"Ya Allah, Key. Aku nggak nyangka kamu semenderita ini hidup sama Zaky. Kukira setelah sama dia nanti, kamu mendapat kasih sayang seorang pria," lanjut Siwi ikut menitikkan air mata. Ia tak tega melihat Keyra terus bersedih, takut bayinya juga stres.

"Harusnya kamu sedikit lega Luna sudah meninggal, Key. Kamu tinggal fokus mengambil hatinya lagi."

Keyra melepas pelukan. Matanya sembab karena hampir semalaman menangis. Wajah imut dan ceria itu berubah menyedihkan.

"Aku udah nyerah, Wi. Udah terlanjur sakit. Rasanya udah nggak ada yang harus dipertahankan, ketika tau Luna masih ada di hatinya. Seandainya aku nggak hamil, lebih baik cerai, Wi."

Siwi menatap Keyra tajam, semudah itukah mengucapkan kata perpisahan?

"Ini yang kubenci dari kamu, Key. Mudah pasrah, belum perang udah ngaku kalah duluan. Zaky itu sayang sama kamu, percayalah. Belum saatnya aja dia benar-benar cinta, Key," jelas Siwi.

"Ya, terus, sampai kapan? Sampai aku benar-benar muak disakiti kayak gini?"

Siwi terdiam, benar kata Keyra. Menunggu cinta dibalas itu melelahkan, tanpa tahu waktu yang tepat. Hanya terus berharap semu, tanpa sebuah kepastian. Sekuat apa pun wanita, akhirnya memilih pergi dan mengalah. Jika memang perpisahan adalah jalan yang tepat, Keyra harus menunggu delapan bulan lagi.

"Keputusanku udah bulat, Wi. Aku mau cerai."

Mendiang [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang