Part 12 | Tuduhan

1.9K 114 6
                                        

"Hah? Kamu nuduh mama yang melakukan semua ini, Zaky? Kurang ajar kamu!"

PLAK!

Sakitnya tamparan di pipi kiriku tak membuat kekesalan ini padam. Untuk apa mengelak lagi? Sudah jelas Luna keracunan dan itu karena kue buatan Mama.

"Mama sengaja 'kan supaya aku gak bisa nikah sama dia? Kok Mama tega banget, sih? Sebenci itukah Mama sama dia? Aku gak nyangka Mama sebejat ini. Otak Mama busuk!"

"Zaky! Jaga mulutmu! Sebenci-bencinya mama sama dia, gak pernah kepikiran untuk meracuni!"

Aku tertawa, jelas-jelas sudah ada bukti.

"Pertama, Mama yang mau buat kue bolu itu sendirian. Kedua, Luna mengaku setelah memakan kue dari Mama dia mual-mual. Apa lagi, Ma? Sudah jelas, 'kan buktinya?"

Mama terduduk di sofa lalu menangis. Kali ini aku tidak mau tertipu lagi. Papa mendekatiku, menyuruhku agar bersabar dan menyelidik ulang. Namun, emosiku membuncah, bukti sudah jelas, untuk apa diselidiki lagi?

"Mama harus dipenjara!"

Deg!

Wanita yang telah membesarkanku itu mendongak. Tak percaya dengan apa yang kukatakan. Papa berteriak ke arahku, membuat semua orang di rumah datang menghampiri kami.

Di tengah ketegangan, seseorang mengetuk pintu. Bi Inah terlihat menyapa seseorang. Rupanya dokter yang tadi menangani Luna.

"Pak Zaky, saya telah meneliti kue yang dimakan Luna tadi. Tidak ada racun di sana, Pak," ungkap dokter usai berbasa-basi. Aku tertegun, mana mungkin tidak ditemui apa-apa.

"Lho, kok? Gak bisa gitu, Pak. Pasti salah hasilnya," kataku tak percaya.

"Kami sudah memeriksanya dua kali, Pak. Kue bekas yang dimakan Luna, dan kue yang baru. Semuanya bersih, tidak mengandung zat apa pun," jawab dokter lagi. Ya Tuhan, mengapa ini membingungkan?

"Ja-jadi, Luna keracunan apa, Pak?"

"Maaf, kami belum bisa memastikan. Keluarganya menolak otopsi, biarlah Luna pergi dengan tenang."

Tidak, ini salah. Harus dicari siapa pelakunya! Mataku kembali tertuju pada Mama yang dirangkul Papa di sofa. Aku tersenyum sinis dan pergi ke kamar mengambil jaket.

***

"Sayang, baru beberapa menit usai kita resmi menikah, dan kamu tega ninggalin mas kayak gini?"

Jika kau berpikir lelaki tidak pernah menangis, itu salah. Ada dua hal yang membuat kami menitikkan air mata. Pertama, karena khusyu'-nya do'a pada Yang Maha Kuasa. Kedua, karena ada kematian. Itulah yang mengiris hatiku saat ini. Kehilangan orang yang dicintai, sakitnya luar biasa perih.

Aku mencium punggung tangannya sebagai penghormatan terakhir. Teka-teki kematiannya akan segera terkuak. Sampai hari itu terjadi, aku tidak akan mencintai wanita lain. Akan kubiarkan ia tenang sampai ditemukan pelaku sebenarnya.

"Selamat jalan, Sayang. Maaf belum sempat membahagiakan, karena kamu pergi lebih dulu. Semoga mendapat tempat yang terbaik di sisi Allah. Love you ...."

....

Selama berbulan-bulan lamanya, hatiku menaruh curiga pada Mama. Namun, ia terus berdalih bukan dia yang melakukan semua ini. Aku disuruh rela dan ikhlas, karena ini takdir dari Tuhan. Kematian sudah diatur oleh-Nya. Tetap saja, aku belum bisa melupakan Luna. Rindu ini menyiksa.

Membaca chat terakhir dengannya membuatku sedikit terhibur. Tertawa sendiri setiap malam, memandang fotonya yang begitu manis. Tersenyum menatapku, bagai melihat surga di matanya yang indah.

Mendiang [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang