Aku memutar kemudiku meninggalkan area parkir kantor. Ketika mobilku akan melewati lobi kantor, aku melihat perempuan itu berdiri sembari memainkan ponselnya. Aku tersenyum mengingat tingkah perempuan itu tadi, kenapa dia bisa selucu itu sih?
Aku menggelengkan kepala pelan, aku masih tidak percaya kalau perempuan itu adalah Marsha, si gadis jelek, dekil dan gendut itu. Tapi sudah malam begini, kenapa dia masih berdiri disitu? Menunggu jemputankah?
Mobilku sampai di depannya dan berhenti tepat dihadapannya. Dia belum menyadari keberadaanku dan mobilku karena perhatiannya terpusat pada layar ponselnya. Ck! Gadis ini kenapa tidak bersikap waspada sih? Bisa saja dengan sikapnya yang seperti ini, ia menjadi korban tindakan kriminal.
Aku membunyikan klakson dan dia mengangkat kepalanya, melihat ke arah mobilku dengan kernyitan di keningnya. Aku lantas menurunkan kaca mobil dan aku bisa melihat kalau dia terkejut menyadari keberadaanku.
"Kamu sedang apa? Kenapa ga pulang sudah jam segini?" Tanyaku dengan suara datar.
"Oh itu pak, masih nunggu jemputan," jawabnya tersenyum canggung.
"Oh ya udah hati-hati kalau gitu." Aku kemudian menghidupkan mesin mobilku. Aku sempat melirik ke arahnya yang terlihat menatapku kesal. Ada yang salah denganku? Tapi aku tidak menggubrisnya dan segera melajukan mobilku meninggalkan pelataran kantor.
Ditengah perjalanan aku mendapatkan telepon dari Mama. Aku segera mengangkat telepon dari mama sebelum mama meminta bala bantuannya untuk terus menggangguku.
"Iya Ma, ada apa?"
"Kamu bersikap begitu sama mama kamu?! Dasar anak kurang ajar! Pulang ke rumah sekarang!"
Duh, ternyata bukan Mama tapi pawangnya Mama yang telepon.
"Oh Papa, ada apa Pa? Kirain Mama yang telepon tadi."
"Kamu tanya ada apa? Kamu ini benar-benar ya, pokoknya sekarang kamu cepat pulang ke rumah."
"Tapi Pa..."
"Jangan membantah! Kamu ga kasihan sama mama kamu? Cepat pulang!"
Tut tut tut
Suara panggilan terputus terdengar. Aku menghela nafas, aku sebenarnya lelah dan ingin segera kembali ke apartemen. Tapi mendengar titah Papa dan suaranya yang terdengar marah, mungkin sebaiknya aku tidak mengabaikan mereka lagi.
Bukan! Aku bukan menghindari mereka karena ada masalah besar dengan mereka. Ini hanya perkara soal diriku sendiri tentang kenapa sudah tiga tahun terakhir ini aku tidak menepati janjiku pada mereka. Aku pernah berjanji pada mereka tiga tahun yang lalu bahwa di usiaku yang ke 28 tahun ini, aku akan membawa perempuan yang ku cinta ke hadapan Papa dan Mama untuk ku jadikan istri. Tapi semuanya berantakan, dua tahun lalu semua harapan dan keinginanku pupus. Perempuan rendahan itu membuatku berantakan. Untuk itu aku menghindari keluargaku, hanya agar mereka tidak mengungkit hal itu. Kebetulan aku berada di luar negeri dan keinginanku menenangkan diri lebih memungkinkan tanpa gangguan. Tapi tahun lalu, akhirnya mereka tahu kalau hubunganku dengan perempuan itu kandas. Mereka tidak mengkritikku hanya memberi dukungan padaku. Iya, dua tahun lalu aku memang berantakan dan hancur bahkan lebih parah dari itu hanya karena seorang perempuan.
Tapi beberapa bulan terakhir ini, Mama sepertinya gencar berusaha mengenalkanku dengan anak perempuan temannya, meski aku berada di negeri lain. Dan karena aku muak dengan hal itu, aku melakukan penawaran dengan mama. Disinilah aku, kembali ke negaraku setelah sekian lama hidup di negara orang sebagai imbalan agar Mama tidak menjodohkanku lagi dengan anak kenalannya. Oh ayolah, lagipula aku masih terlalu muda untuk menikah. Lima atau sepuluh tahun lagi menikah juga tidak masalah.
Begitu aku sampai di kediaman keluarga Bahtiar, rumah Papa, aku langsung memarkirkan mobilku. Ketika aku aku sudah turun dari mobil, suara cempreng Caca, adik kesayanganku satu-satunya langsung menyambutku.
Dia berlari ke arahku dan langsung memelukku erat.
"Kak Er, Caca kangen sama kakak. Papa dan mama juga. Kenapa kakak ga mau pulang ke rumah? Kakak udah ga sayang sama kami?" Tanya Caca begitu dia melepaskan pelukannya dariku. Aku seperti tertampar dengan kenyataan. Apakah kelakuanku selama ini sudah menyakiti keluargaku? Aku merasa seperti pencundang yang melarikan diri hanya gara-gara hal sepele, bahkan mengorbankan keluargaku sendiri.
"Siapa bilang Kakak ga sayang sama Caca dan Papa Mama? Kakak sayang kalian kok," kataku tersenyum sembari mengelus rambutnya dengan sayang. Meski Caca berumur hanya berjarak lima tahun dariku, tapi kelakuannya benar-benar seperti bayi. Padahal kalau dipikir Caca ini udah 23 tahun, sudah termasuk kategori perempuan dewasa. Tapi sikap manjanya itu benar-benar membuat orang gemas.
"Bohong! Terus kalau sayang kenapa ga pernah pulang ke rumah?" Tanyanya menyelidik.
Aku hanya melihat Caca tanpa bisa memberikan penjelasan. Sekali lagi, aku memang pecundang.
"Akhirnya kamu pulang juga Er," suara perempuan di depan pintu rumah yang terbuka membuat dadaku sesak.
Mama!
Aku berjalan menghampiri Mama dan memeluknya erat.
"Er kangen sama Mama. Mama sehat-sehat kan?" Tanyaku dengan suara hampir tercekat. Aku tidak tahu sudah berapa lama, aku tidak memeluk mamaki seperti ini. Aku terlalu larut dalam kesedihan sampai melupakan orang yang paling berjasa di hidupku.
"Mama sehat Er. Kamu sehat kan?" Tanyanya sembari mengelus punggungku.
Rasanya hangat dan nyaman. Ya beginilah, Mamaku yang sudah seperti rumah bagiku. Seharusnya dari dulu aku tidak melarikan diri dan menghindar dari keluargaku. Kalau dipikir, mereka tidak bersalah sama sekali.
"Maafkan Er ya Ma, karena baru bisa kembali sekarang. Pasti Er udah bikin mama kecewa sampai Mama agak keliatan kurus sekarang," kataku mengurai pelukan. Aku menatap mama Shanaz, cinta pertama di kehidupanku.
"Kamu mau ledek mama? Gemuk gini dibilang kurusan, dasar anak nakal."
Mama mengelus kepalaku. Aku bisa melihat ketulusan dan kasih sayang dimatanya.
"Syukurlah kamu sehat. Mama khawatir sama kamu. Jangan menanggung semuanya sendiri ya? Ada Mama, papa dan juga Caca yang akan selalu support kamu."
Aku mengangguk, terharu. Aku kembali memeluk Mama erat. Aku tidak akan meyia-nyiakan keluargaku lagi.
"Caca juga mau dipeluk kakak," suara cempreng Caca terdengar disertai pelukannya di sampingku. Aku tersenyum dan mendekap kedua perempuan yang kusayangi.
"Bagus kamu sudah pulang! Kamu tinggalkan dua perempuan kesayangan Papa itu dan masuk ke ruang kerja Papa sekarang! Papa akan buat perhitungan sama kamu!" Suara bass yang tegas dari Tuan Andeaz Pramudya Bahtiar yang berdiri gagah dengan wajah tampannya meski sudah tidak lagi muda membuatku melepaskan Caca dan Mama, dan mengikut beliau. Aku sudah siap jika Papa akan menghajarku habis-habisan karena ketololanku.
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Neighbor (Tamat)
General FictionSequel MY BIG BOSS // slow update Di dunia ini ada tiga hal yang aku benci, tubuh gendut, kulit hitam dekil dan pria songong. Tiga hal itu mengingatkanku akan pengalaman buruk 17 tahun yang lalu, dimana ada cowok kira-kira berusia 7 tahun dengan ke...