"Abang ga apa-apa? Kenapa bisa sampai berdarah begini?" Tanya Caca yang kebetulan mampir ke apartemenku. Dia mengeluarkan kotak P3K dari laci dapur dan mulai merawat lukaku.
Aku tersenyum miring sembari menyentuh sudut bibirku yang membengkak. Sialan! Sebenarnya siapa pria itu? Beraninya dia merusak wajah tampanku. Dan yang membuatku kesal, dia membawa Marsha entah kemana dan Marsha kelihatan pasrah dibawa pria itu menuju mobilnya.
Aku ingat dengan jelas perawakan tinggi dan besar dari lelaki itu meski dalam gelap. Kalau tidak salah, dia memakai seragam tentara. Apa Marsha terlibat kasus terorisme, atau pengkhianat negara? Kenapa pria berseragam tentara itu membawa Marsha dengan tatapan marah?
"Aw.. pelan-pelan Ca," keluhku ketika Caca menekan lukaku.
"Kalau Caca tanya tuh jawab bang. Ini kenapa bisa kaya gini? Bang Er berantem?" Cerca Caca.
"Ga."
"Terus kenapa? Ga mungkin kan bibir abang bengkak gini karena habis disosor bibir cewek?"
"Udahlah, jangan banyak tanya. Abang baik-baik aja. Mendingan kamu pulang sebelum larut malam."
"Yee.. udah diobatin bukannya bilang terima kasih malah ngusir," sewot Caca mulai keluar sifat kekanakannya.
"Bukan ngusir Caca sayang, ini tuh udah malam. Ga baik anak gadis masih berkeliaran di luar."
"Okay-okay, Caca pulang. Abang bawel banget ih."
Aku melihat Caca mengambil tas tangannya dari meja pantri dan berjalan kembali menghampiriku.
"Hati-hati Bang Er bawel, Caca pulang dulu. Jangan lupa, Mama nyuruh abang pulang ke rumah besok."
Aku mengangguk, mengiyakan perkataan Caca sebelum Caca keluar dari unit apartemenku.
Aku membaringkan tubuhku diatas sofa bed dan menatap kosong ke langit-langit gedung. Menghela nafas panjang, lelah. Rasa penasaran bergelayut, membuat pikiranku blank. Sebenarnya siapa pria itu? Dan kenapa Marsha mau saja dibawa olehnya?
Aku mengangkat tangan untuk melihat jam di arlojiku, masih jam sepuluh. Aku bangkit dan mengambil jaket denimku, berjalan keluar dari apartemen.
Mobilku kuarahkan menuju club malam langgananku. Begitu aku masuk suasana hiruk pikuk keramaian menyambut gendang telingaku, suara musik DJ mengalun keras mengisi seantero ruangan serta suara orang saling bicara dan berteriak. Aroma asap rokok, alkohol dan berbagai macam merk parfum bercampur menjadi satu. Orang-orang tengah menikmati pesta malam mereka, ada yang hanya berbincang, ada yang meliukkan badannya dengan erotis, ada yang minum-minum sampai keaadaran mereka habis dan juga ada yang mengumbar kemesraan di bawah lampu remang-remang club.
Kakiku melangkah menuju meja bartender di ujung ruangan yang hanya diterangi sorot lampu dari tengah ruangan. Aku beberapa kursi berderet disekitar club tampak kosong karena ini sudah masuk puncak pesta malam.
Aku mengambil tempat duduk tepat di depan bartender yang tengah meracik minuman beralkohol untuk pelanggan.
"Vodca," kataku ketika sang bartender bertanya pesananku.
Segelas vodca kemudian diletakkan di depanku. Aku memainkan gelas kaca berisi cairan alkohol tersebut sebelum menyesapnya dengan perlahan.
Sudah lama aku tidak masuk ke tempat ini semenjak aku mengenal Marsha. Lagipula aku tidak begitu suka kebisingan di club malam, terlalu memekakan telinga, belum lagi banyak berseliweran wanita penghibur haus akan belaian, itu membuatku risih. Kalian jangan salah sangka, sebenarnya aku bukan pria playboy seperti apa yang dikatakan orang-orang. Aku datang kesini saat aku merasa tertekan dan untuk mencari cara mengobati penyakitku dengan menyewa beberapa perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Neighbor (Tamat)
General FictionSequel MY BIG BOSS // slow update Di dunia ini ada tiga hal yang aku benci, tubuh gendut, kulit hitam dekil dan pria songong. Tiga hal itu mengingatkanku akan pengalaman buruk 17 tahun yang lalu, dimana ada cowok kira-kira berusia 7 tahun dengan ke...