Akhirnya aku dan Pak Ersya benar-benar kabur alias bolos dari kantor. Alhasil, sekarang kami berada di sebuah pantai di daerah Yogyakarta. Awalnya aku menentangnya, masa mau menenangkan diri saja harus sejauh ini. Tapi apalah dayaku, ketika aku hanyalah seorang bawahannya yang harus tunduk dengan titah atasan. Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam menggunakan mobil sewaan untuk sampai ke pantai setelah turun dari pesawat.
Meski awalnya aku menolak, tapi justru aku yang berlarian seperti anak kecil sembari menendang-nendang pasir begitu sampai di pantai. Suara gemuruh ombak di pantai membuat jiwaku bebas. Aku melihat sosok Pak Ersya yang berdiri di pinggir pantai sembari melihat senja berwarna orange di seberang lautan. Siluetnya dari kejauhan masih mempesona, meski rambutnya berantakan akibat semerbak angin yang bertiup agak kencang. Namun ketampanannya seolah tidak surut. Dia melihat ke arahku lalu tersenyum. Sebenarnya apa yang aku lakukan sih? Bukankah seharusnya aku menghiburnya, bukannya malah asyik sendiri seperti ini. Lalu aku berjalan menghampiri dirinya.
"Belum baikan?" Tanyaku ketika aku ikut berdiri disampingnya, memandang matahari yang mulai tenggelam. Warna permukaan lautnya sangat indah diterpa oleh cahaya senja sang surya.
Dia tidak menjawabku, tapi dia merengkuhku dalam pelukannya. Rasa hangat tubuhnya langsung menyatu dengan tubuhku. Aroma maskulinnya langsung menusuk indera penciumanku, aku sangat suka aromanya, menenangkan.
"Aku baik-baik saja. Asal ada kamu disisiku, aku akan baik-baik saja."
Aku tersenyum dengan kalimat manisnya."Meski aku ga berhak ikut campur masalah kalian, tapi aku ingin minta satu hal sama Mas. Jangan terlalu keras pada Nathan atau Caca ya." Aku mengelus bahunya dengan sayang.
"Beritanya terlalu mengejutkan. Mungkin aku masih bisa memaafkan kehamilan Caca, tapi aku belum bisa memaafkan Nathan."
"Kenapa? Bukankah Nathan adalah sahabat Mas?"
"Karena dia sahabatku makanya aku tidak bisa memaafkan tindakannya. Seharusnya dia mikir sebelum melakukan itu pada Caca. Caca itu adikku Sha. Aku takut cerita orangtuaku terulang pada Caca."
"Orang tua Mas?" Tanyaku sembari mengernyit, semakin merapatkan tubuh ke pelukan Pak Ersya.
"Mama sama Papa menikah karena Papa sengaja menghamili Mama duluan. Aku anak yang lahir diluar nikah Sha. Kurang lebih tiga tahun aku hidup tanpa Papa dan melihat Mama kerap bersedih. Aku ga mau Caca merasakan kesedihan yang sama seperti yang mama rasakan."
Aku mendengarkan ceritanya dalam diam. Aku tidak akan menyimpulkan apapun mengenai cerita hidupnya.
Dan aku tidak tahu harus merespon seperti apa. Semua orang punya cerita hidup yang berbeda dengan permasalahan yang berbeda. Aku tidak ingin mengatakan padanya kalau semua akan baik-baik saja karena aku tidak tahu takdir dimasa depan seperti apa. Yang bisa kulakukan sekarang adalah merengkuhnya dan mengusap punggungnya dengan lembut, memberinya sedikit kekuatan.Pak Ersya mengurai pelukanku dan menatapku dalam kepekatan matanya. Awan hitam berlomba arak-arakan di langit menandakan hari mulai semakin gelap. Dalam keremangan, aku bisa melihat wajahnya yang memikat dan tatapan matanya yang dalam. Aku terhanyut oleh bujuk rayu matanya dan tanpa sadar menerima belaian bibirnya di bibirku. Aroma nafasnya di mulutku membuat jantungku berdetak kencang. Ini ciuman kami untuk kesekian kalinya, tapi rasanya tetap sama, mampu memporakporandakan pertahananku. Aku memejamkan mata, menghayati setiap gerakan bibirnya. Lidahnya yang manis menelusup, meraih ujung lidahku dengan gerakan yang bisa membuat diriku serasa ingin terbang. Darahku mengalir deras menuju satu titik pada pusat tubuhku yang mulai berdenyut nyeri. Aku menginginkannya, sangat.
Kruyuk...kruyukk...
Pak Ersya melepaskan tautan bibirnya pada bibirku lalu tertawa. Sedangkan aku melongo dengan wajah panas. Sialan! Kenapa perutku tidak bisa diajak kerjasama? Bisa-bisanya disaat suasana romantis ini perutku malah berbunyi. Dasar perut si perusak suasana!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Neighbor (Tamat)
General FictionSequel MY BIG BOSS // slow update Di dunia ini ada tiga hal yang aku benci, tubuh gendut, kulit hitam dekil dan pria songong. Tiga hal itu mengingatkanku akan pengalaman buruk 17 tahun yang lalu, dimana ada cowok kira-kira berusia 7 tahun dengan ke...