Dua hari berlalu setelah kejadian dimana aku tahu kalau Pak Ersya mendekatiku hanya untuk dijadikan kelinci percobaannya. Dua hari penuh aku memutuskan untuk mendekam di dalam apartemen, bolos kerja dan mematikan ponsel. Aku tidak peduli jika aku kena surat peringatan dari kantor. Aku hanya ingin menenangkan diri. Tidak ada hal khusus yang aku lakukan selama aku mengurung di apartemen. Selama waktu itu aku hanya makan, tidur dan maraton menonton drama Korea kesukaanku. Kadangkala aku melamun dengan pikiran kosong di dekat jendela kamarku.
Apa aku menangis setelah kejadian yang menimpa antara aku dan Pak Ersya? Jawabannya adalah tidak. Aku juga tidak tahu kenapa airmataku tidak mau keluar. Padahal dadaku sesak dan hatiku seperti tersayat pisau tak kasat mata. Aku hanya menangis saat di depan apartemennya dua hari yang lalu, itupun tanpa aku sadari. Setelah hari itu, airmataku seolah enggan keluar untuk pria yang pernah mengaku mencintaiku. Rasanya aku ingin tertawa terbahak mengingat dia mengatakan cinta padaku dengan ekspresinya yang terlihat sungguh-sungguh. Seharusnya dia dianugerahi penghargaan sebagai aktor dengan akting terbaik.
Kembali, aku merasakan sesak, teramat sesak dalam dadaku. Aku memukul dadaku beberapa kali guna meredakan rasa sesaknya. Semakin sesak mengingat pernyataan cintanya dan ekspresi tulusnya. Tapi setelah hari itu dia tidak berusaha menemuiku. Atau setidaknya menghubungiku untuk menjelaskan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dan tindakannya itu berhasil membuatku menarik kesimpulan, bahwa apa yang kudengar dari kalimat Nathan dua hari yang lalu adalah benar adanya.
Hah! Aku mendesah dengan kasar. Aku tersenyum melihat pantulanku di cermin. Wajah cantik dan tubuh bagus seorang perempuan ternyata tidak luput dari permainan tipu daya pria. Aku kira dengan penampilanku yang seperti ini, para pria tidak akan membuatku terluka. Tapi ternyata Pak Ersya adalah pengecualiannya. Hatiku bukan sekedar terluka, tapi remuk tak berbentuk. Aku baru belajar mencintai, tapi baru diawal hatiku sudah dihempas begitu saja.
Hah! Kembali aku mendesah. Dengan setelan kerja aku mematutkan diri di cermin. Penampilanku masih seperti biasanya. Tidak ada mata bengkak sehabis menangis seperti orang yang baru putus cinta. Putus cinta? Aku sendiri tidak tahu bagaimana status hubunganku saat ini. Tapi yang jelas, semua ini masih sulit kuterima.
Aku melihat sekilas pintu apartemen Pak Ersya ketika aku akan berangkat kerja. Apa dia sudah berangkat kerja? Aku menggeleng, untuk apa aku peduli. Setelah kedoknya terbongkar, dia mungkin tidak akan peduli padaku. Aku ini bukan siapa-siapa selain kelinci percobaannya kan?
Dengan langkah tegas aku berjalan meninggalkan apartemen dan berangkat kerja. Semangat Marsha! Lupakan Pak Ersya, dia hanya bos brengsek yang berusaha mengambil keuntungan darimu.
Namun, ketegasan dan ketegaranku berubah layu ketika aku memasuki divisi keuangan, dimana rekan-rekan satu divisi sudah berkumpul.
"Akhirnya lo masuk juga, kemana aja lo? Hilang ga ada kabar, dikira perusahaan ini punya lo apa? Kalau sakit kasih kabar kek, biar kita-kita ga khawatir." Sengit Intan, dia memang biasa bersikap ketus tapi aku tidak menyangka kalau dia bisa seketus ini.
"Ada perlu," jawabku acuh. Aku melirik pintu ruangan Pak Ersya yang juga ruanganku. Aku menghela nafas, apa aku bisa bertahan berada dalam satu ruangan dengannya.
"Kamu ada masalah Sha?" Tanya Mbak Menik yang kini berjalan ke arahku. Aku menggeleng pelan sembari tersenyum tipis.
"Sakit? kalau masih sakit jangan dipaksain masuk dulu," imbuhnya.
"Iya mbak, Mbak Marsha kalau sakit istirahat aja," timpal Mayla.
"Siapa yang sakit?" Suara Mas Aji yang entah datang darimana menginterupsi. Dia berjalan sembari membawa kertas dokumen yang menumpuk.
"Eh Sha, kamu masuk. Dua hari ini kamu susah sekali dihubungi. Kamu sakit?" Tanya Mas Aji.
"Ga kok mas. Cuma kurang enak badan aja. Makasih semuanya atas perhatiannya dan maaf kalau dua hari aku bolos kerja tanpa kabar apapun," jawabku dengan rasa tidak enak. Pasalnya anggota divisi keuangan seperti Intan, mbak Menik, Mayla dan Mas Aji sudah kuanggap seperti keluarha sendiri. Jadi menghilang tanpa kabar cukup membuatku merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Neighbor (Tamat)
General FictionSequel MY BIG BOSS // slow update Di dunia ini ada tiga hal yang aku benci, tubuh gendut, kulit hitam dekil dan pria songong. Tiga hal itu mengingatkanku akan pengalaman buruk 17 tahun yang lalu, dimana ada cowok kira-kira berusia 7 tahun dengan ke...