Pagi ini ketika aku memasuki ruangan divisi keuangan, lagi-lagi aku melihat meja kerja Marsha yang kosong. Dia tidak masuk kerja lagi hari ini. Sudah dua hari dia pergi, tanpa kabar berita dan parahnya ponselnya masih di luar jangkauan. Sebenarnya itu anak pergi kemana? Apa dia pergi ke gua atau luar angkasa sampai ponselnya diluar jangkauan terus?
Aku memijat pelipisku, pusing menderaku akibat kurang tidur. Kerjaan menumpuk dan tidak ada satupun yang aku kerjakan. Dari pihak atasan sudah merongrongku untuk mengevaluasi keuangan proyek bulan ini. Tapi aku sama sekali tidak ada niat dan semangat untuk mengerjakannya.
Gila! Otakku sepertinya memang sudah tidak waras. Buat apa aku kelimpungan seperti orang sekarat memikirkan kepergian Marsha yang entah kemana. Diam-diam ada rasa khawatir yang menyusup kalbuku. Tidak mungkin kan kalau aku benar-benar jatuh cinta padanya? Tidak! Ini tidak termasuk dalam rencana awalku. Dia hanyalah objek.
Lalu sisi lain pikiranku berbisik.
Tidak ada salahnya kamu mencintainya.
Dia mencintaimu. Apa kamu tega menyakitinya?
Biarkan hatimu memilikinya dan lupakan rencana konyolmu itu.
Dia bukan objek, bukan juga kelinci percobaanmu. Bukan pula hanya sekedar obat penyembuh penyakitmu.
Jangan biarkan dia pergi Er. Milikilah dia disisimu, bukan sebagai obat atau objek percobaanmu, tapi sebagai pemilik hatimu.
Dia akan terluka jika tahu niat awalmu mendekatinya.
"Arrgggghhhh!! Sialan!!" Aku mengusap wajahku dengan kasar. Dilema ini membuatku sakit kepala.
Tapi setelah kupikiran lagi, memang tidak ada salahnya jika aku mencintainya. Aku hanya perlu memilikinya dan melupakan niat awalku yang hanya ingin memanfaatkannya.
Tok tok tok
"Permisi pak.""Ya masuk." Aku mendongak dan melihat seorang perempuan muda, karyawan divisi keuangan juga. Kalau tidak salah namanya Intan.
"Iya ada apa Intan?"
Dia berjalan menghampiri meja kerjaku, berdiri tepat diseberang meja.
"Saya ingin menyampaikan pesan dari Marsha," katanya yang membuat tubuhku seketika menegang.
"Pesan apa?"
"Katanya dia izin tidak masuk kerja selama tiga hari. Dia juga minta maaf karena terlambat meminta izin."
"Memangnya dia ada masalah apa?" Tanyaku hati-hati agar dia tidak curiga kalau aku dan Marsha ada hubungan spesial.
"Saya kurang tahu sih pak. Dia hanya meninggalkan pesan itu pada saya."
"Oh ya sudah, kamu boleh pergi."
"Permisi pak," katanya sembari menunduk hormat.
"Oh tunggu sebentar Intan, tolong bilang ke yang lainnya untuk segera menyerahkan data-data keuangan proyek bulan ini. Saya tunggu sampai pulang kerja nanti, data itu sudah harus terkumpul," kataku dengan tegas.
"Baik pak, permisi."
Intan keluar dan aku mencoba membuka kembali lembaran dokumen yang sudah masuk sebagian. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku. Tidak ada dilema, galau-galau karena dia. Kerjaanku tidak bisa menunggu sampai moodku kembali, dan Papa juga tidak akan membiarkan karyawannya bermalasan hanya karena seorang wanita. Setidaknya sudah ada kabar dari Marsha meski belum terlalu jelas.
"Er, Mama mau lihat calon mantu dong," suara Nyonya Shanaz yang terhormat membuatku mengalihkan atensiku dari dokumen yang baru saja aku pegang.
"Mama, sekarang rajin banget sih datang kesini? Jangan bilang Mama lagi ngawasin Papa biar ga tergoda sama sekeretarisnya itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Neighbor (Tamat)
General FictionSequel MY BIG BOSS // slow update Di dunia ini ada tiga hal yang aku benci, tubuh gendut, kulit hitam dekil dan pria songong. Tiga hal itu mengingatkanku akan pengalaman buruk 17 tahun yang lalu, dimana ada cowok kira-kira berusia 7 tahun dengan ke...