"Sha, bisa kita bicara sebentar?" Suara Mas Aji menginterupsi kegiatanku dalam berkemas-kemas saat jam menunjukkan waktu untuk pulang. Aku tidak pulang sih, aku sudah ada janji untuk menemani Pak Ersya konsultasi ke dokter. Aku melihat sekeliling dan sudah tidak menemukan rekan-rekanku. Kalau urusan pulang kerja mereka memang yang paling gercep.
Aku menimbang permintaan mas Aji. Pak Ersya tadi mengirim pesan padaku kalau dia masih berada di ruangan papanya.
"Bisa mas, sebentar ya aku beresin ini dulu."
"Aku tunggu di kafetaria bawah ya, sekalian minum kopi."
"Oke." Mas Aji pergi menjauhiku. Aku menatap kepergiannya lalu mendesah. Aku tahu apa yang akan Mas Aji bicarakan. Kuraih ponselku di atas meja dan mengirim pesan singkat ke Pak Ersya.
Mas, aku tunggu di kafetaria ya?
Tidak butuh waktu lama, pesan balasan dari Pak Ersya masuk.
"Iya sayang, bentar lagi aku turun. Masih debat presiden sama papa nih. Tunggu ya 😘😘
Aku tersenyum geli dengan panggilan sayangnya juga emoticon yang dia kirimkan padaku. Ya ampun, kelakuan Pak Ersya kenapa jadi manis gini sih macam ABG baru kasmaran. Aku menyentuh kedua pipiku, aku jadi malu.
Kumasukkan ponsel ke dalam tas kerja dan mencangklongnya, meninggalkan divisi keuangan untuk bertemu Mas Aji.
Sesampainya di kafetaria, aku menghampiri Mas Aji yang dihadapannya sudah ada secangkir kopi hitam dan segelas es cappucino cincau, minuman kesukaanku.
"Maaf ya mas lama."
"Ga apa-apa. Aku udah pesenin minuman kesukaan kamu."
"Makasih ya mas." Aku mulai menyeruput minumanku. Dingin dan segarnya minuman yang kuminim langsung membasahi tenggorokanku, membuatku mendesah lega. Aku mengamati keadaan sekitar yang masih cukup ramai. Ada beberapa karyawan yang sepulang kerja sengaja mampir kesini demi menikmati secangkir kopi. Ada juga beberapa orang yang tengah mengisi perut mereka untuk amunisi saat lembur nanti.
"Sha?" Panggil Mas Aji. Aku menoleh dan melihatnya menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan.
"Kamu beneran pacaran sama Pak Ersya?" Tanyanya dengan nada suara yang terdengar jelas tidak suka. Kenapa dia harus tidak suka ya?
"Ehmm.. Mas Aji itu..."
"Jadi kamu nolak aku karena Pak Ersya? Aku sadar Sha kalau kelas aku sama kelasnya Pak Ersya memang jauh. Tapi apa kamu ga bisa lihat kesungguhanku Sha?"
"Mas, aku nolak kamu waktu itu bukan karena Pak Ersya. Tapi karena aku memang ga ada perasaan lebih sama Mas. Mas Aji udah aku anggap sebagai kakak aku sendiri, maaf mas." Aku menunduk, tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku lelah berulang kali memberi penjelasan pada Mas Aji kalau sampai kapanpun aku tidak bisa menerimanya lebih dari teman kantor.
"Kenapa Sha? Kenapa kamu ga bisa nerima aku? Kamu tahu kan aku cinta sama kamu bahkan aku sanggup nunggu kamu selama apapun. Tapi kenapa kamu malah pilih laki-laki lain Sha?"
"Mas, cinta ga bisa dipaksa, mas tahu sendiri itu. Sampai kapanpun aku ga bisa anggap mas lebih dari sekedar kakak juga teman kantor. Ini mungkin terdengar kejam buat mas, tapi aku emang ga pernah cinta sama kamu mas." Aku menatapnya sendu. Dia juga terlihat putus asa, sedih juga marah. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
"Karena Pak Ersya kan?" Tanyanya dengan nada sedikit mendesak.
"Bukan mas. Ini ga ada hubungannya sama dia. Jauh sebelum dia datang, aku udah pernah nolak mas juga kan."
"Iya, dan aku kira kalau aku setia nunggu kamu, kamu bakal luluh oleh kesetiaanku. Tapi pada akhirnya aku tetap gagal. Apa ga ada sedikitpun kesempatan buatku lagi Sha?"
Aku menunduk dalam diam dan bergumam," maaf mas." Aku sudah tidak bisa menjelaskan panjang lebar alasanku menolaknya untuk kesekian kalinya. Aku tidak ingin menyakitinya.
Kurasakan tanganku di genggam olehnya. Aku mendongak dan melihatnya wajahnya yang benar-benar dipenuhi oleh kekecewaan.
"Berarti ini saatnya aku berhenti kan? Aku memang sudah ga ada kesempatan lagi kan? Jujur aku sedih, juga kecewa, tapi benar kata kamu, kalau perasaan memang ga bisa dipaksakan." Aku masih diam menunggunya melanjutkan kalimatnya.
"Semoga kamu bahagia dan langgeng ya," ucapnya sambil tersenyum getir. Tangannya meremas pelan tanganku. Aku mencoba tersenyum tapi rasanya bibirku kaku. Tiba-tiba sebuah tangan besar menyentak genggaman tangan Mas Aji sehingga membuatnya lepas dari tanganku. Aku melihat sang pelaku yang ternyata adalah Pak Ersya. Wajahnya terlihat marah disertai tatapan matanya yang garang menatap Mas Aji.
"Pak Ersya," panggilku. Dia menoleh singkat padaku sebelum kembali menatap tajam pada Mas Aji.
"Sore pak," sapa Mas Aji berusaha menampilkan senyum.
"Hmm." Pak Ersya lalu melihat padaku.
"Kamu udah selesai Sha, yuk balik," ajaknya dengan dingin. Dia meraih tanganku lalu menarikku untuk berdiri.
Sebelum pergi Mas Aji menahan lengan Pak Ersya.
"Maaf pak. Saya harap bapak ga salah paham. Saya dan Marsha ga ada hubungan apa-apa."
"Hmm." Setelah itu Pak Ersya menarikku agar mengikutinya. Beberapa karyawan melihatku dengan berbagai macam tatapan saat Pak Ersya yang menarikku hampir seperti diseret keluar dari kafetaria, membuatku sedikit malu. Dia tidak berbicara sedikitpun sampai kami tiba di parkiran. Bahkan saat dia membukakan pintu mobilnya untukku, dia masih setia dengan mode bisu. Dia marah? Apa dia cemburu?
Aku menunggunya sampai dia naik ke balik kemudi dalam diam. Aku tidak berani memulai pembicaraan. Aku takut itu mungkin akan menyulut emosinya. Beberapa saat kemudian kurasakan tatapan matanya mengarah padaku. Aku balik menatapnya. Kulihat dia menghela nafas panjang dan menyugar rambutnya hingga berantakan, menimbulkan kesan seksi. Oh stop Marsha, bukan waktunya untuk memuji keseksiaannya. Aku harus bersiap kalau-kalau dia pada akhirnya meledak marah gara-gara melihatku dengan Mas Aji, dalam keadaan berpegangan tangan pula. Aku yakin dia cemburu karena itu.
"Sha, sebenarnya aku ingin marah. Tapi entah siapa kemarahanku ini aku tujukan. Di depan mataku, aku melihat kamu disentuh oleh lelaki lain, tapi apalah dayaku kalau aku saja belum ada hak untuk melarang. Kenapa sih kamu hobi banget bikin aku frustasi?" Keluhnya, kembali menyugar rambutnya seperti orang yang benar-benar frustasi.
Boleh tidak sih aku tertawa? Pak Ersya terlihat lucu dan menggemaskan saat sedang cemburu. Tapi pada akhirnya aku hanya tersenyum ke arahnya.
"Kenapa senyum-senyum? Kamu senang lihat aku kaya orang gila gini gara-gara kamu?" Tanyanya sedikit sewot. Lantas aku tidak bisa lagi menyembunyikan kekehanku mendengar nada sewotnya.
"Ya udah lah, ketawain aja terus. Lagipula aku senang lihat kamu ketawa kaya gini. Sayangnya Mas Ersya makin cantik kalau ketawa dan aku suka itu." Aku langsung terdiam kala kalimatnya meluncur dengan penuh kelembutan disertai senyum lembut yang membuat jantungku kembali berdetak kencang.
Kok kamu makin manis sih Mas? Jadi takut kena diabetes kalau lama-lama sama kamu.
***
Tbc
Team sorak keluarkan suara kalian! Double up dong, seneng kan?Kasih vote sama komen banyak2 dong, lebih baik juga kalau kalian share cerita ini ke temen2 kalian.
Tengkyu sayang, tandai typo and happy reading
😘😘 meirhy
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Neighbor (Tamat)
Fiksi UmumSequel MY BIG BOSS // slow update Di dunia ini ada tiga hal yang aku benci, tubuh gendut, kulit hitam dekil dan pria songong. Tiga hal itu mengingatkanku akan pengalaman buruk 17 tahun yang lalu, dimana ada cowok kira-kira berusia 7 tahun dengan ke...