Baru sekali ini dalam sejarah hidupku, aku mengalami kegugupan yang bahkan bisa membuat tubuhku kaku seperti mayat.
"Tarik nafas mas. Jangan tegang! Kamu bukan mau berhadapan sama algojo kok."
Aku hanya tersenyum kaku menanggapi kalimat Marsha. Aku tahu, aku memang bukan akan berhadapan dengan algojo, tapi sensasinya tuh hampir sama. Aku takut kalau orang tua Marsha tidak suka padaku dan tidak mau memberi restu pada hubungan kami. Tidak! Aku harus berhasil mendapatkan restu mereka. Aku tidak mau kehilangan Marsha lagi. Biarpun bumi terbelah jadi dua, aku akan berjuang demi hubungan ini.
"Tangan kamu dingin banget mas."
"Iya, udah lama ga ke daerah puncak, jadi menggigil gini," elakku.
Lalu kurasakan Marsha merapatkan diri padaku lalu berbisik tepat di telingaku. Suaranya yang merdu serta nafasnya membuat bulu kudukku merinding. Sesuatu dalam tubuhku seperti di bangkitkan.
"Mas harus berhasil dapat restu dari orang tuaku ya? Kalau berhasil, nanti aku kasih service menyenangkan," katanya dengan senyum yang sengaja tengah menggodaku.
Semangatku semakin berkobar, apalagi mendengar iming-iming darinya. Aku jadi tidak sabar untuk menyelesaikan misi ini.
"Aku pegang janji kamu," kataku balik berbisik padanya.
Tak berselang lama, kedua orang tua Marsha keluar dan langsung duduk di hadapan kami. Tubuhku jadi makin tegang karenanya.
"Maaf sudah membuat kamu menunggu lama," kata Papa Marsha. Papa Marsha masih kelihatan muda, mungkin seumuran Papaku.
"Ga apa om," jawabku sambil berusaha tersenyum.
"Udah dibikinin minum kan sama Marsha?" Kali ini giliran Mama Marsha yang bertanya yang terlihat anggun di usianya.
"Iya tante."
"Jadi?" Tanya Papa Marsha setelah hening beberapa saat.
"Sebenarnya saya kesini ingin minta restu dari om sama tante buat menikahi Marsha. Saya harap om sama tante merestui kami," kataku dengan perasaan gugup.
"Punya apa kamu sampai berani melamar putri saya? Kamu bisa menghidupi dia tanpa kekurangan?" Tanya Papa Marsha yang mendapatkan teguran dari Marsha. Aku menggenggam tangan Marsha agar tidak menegur Papanya. Sudah menjadi hal lumrah pertanyaan tersebut dilontarkan pada pria yang akan mengambil putrinya.
"Kalau untuk hal itu, om ga perlu khawatir. Kekayaan saya lebih dari cukup untuk menghidupi anak om," jawabku mantap dan yakin.
"Sombongnya anak muda ini. Tapi saya suka sama kepercayaan diri kamu. Tapi apa kamu yakin bisa membahagiakan anak saya? Anak saya ini kadang suka rewel..."
"Papa ih," potong Marsha dengan nada tidak terima.
"Iya anak saya ini agak rewel dan manja, apa kamu yakin bisa tahan sama sikapnya? Kamu yakin bisa bahagiakan dia? Om ga mau kamu menyakiti putri om satu-satunya."
"Saya janji om. Saya akan berusaha membuat Marsha selalu bahagia. Karena bagi saya Marsha adalah separuh nafas saya. Kalau dia ga bahagia, bagaimana bisa saya menghirup oksigen dengan benar?"
Aku menunggu dengan perasaan cemas. Semoga jawabanku bisa meyakinkan Papa Marsha untuk menerimaku.
"Kalau om sama tante terserah Marsha aja nak. Selagi itu pilihan Marsha dan bisa bikin Marsha bahagia, om sama tante akan merestui. Iya kan Pa?" ujar Mama Marsha pelan.
"Sebenarnya Papa belum rela Marsha diambil sama pria lain, tapi apa boleh buat kalau Marsha sendiri sudah siap. Papa jadi patah hati deh," ucap Papa Marsha sok melankolis yang membuatku tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Neighbor (Tamat)
General FictionSequel MY BIG BOSS // slow update Di dunia ini ada tiga hal yang aku benci, tubuh gendut, kulit hitam dekil dan pria songong. Tiga hal itu mengingatkanku akan pengalaman buruk 17 tahun yang lalu, dimana ada cowok kira-kira berusia 7 tahun dengan ke...