"Hai," ucapku ketika aku membuka pintu. Aku melihat Diane duduk dengan nyaman di sofa.
Aku berjalan menghampirinya dan tersenyum melihat wajahnya yang terlihat kesal padaku.
"Kenapa pagi-pagi sudah kesini? Kamu tidak memberiku kabar akan berkunjung kesini?"
"Hah!" Dia sengaja menghembuskan nafas dengan keras. Aku tahu dia kesal karena aku tidak pernah menghubunginya lagi semenjak beberapa hari yang lalu.
Aku duduk di kursi kerjaku, bersedekap di atas meja dan kembali melihat ke arah Diane, dokter psikiater sekaligus sahabatku.
"Mau minum sesuatu?" Tanyaku lagi meski raut wajahnya masih terlihat kaku.
"Kopi. Aku kurang tidur karena seseorang." Nada suaranya terdengar ketus dan menyindir.
"Oke kopi!" Aku langsung menekan tombol interkom yang terhubung langsung ke meja Marsha, selaku sekretarisku saat ini.
"Tolong buatkan kopi Americano dua dan antar ke ruangan saya!" Setelah mendengar balasan dari Marsha, aku kembali fokus ke Diane yang kemungkinan sedang menahan emosi karena aku.
"Bukan aku kan penyebabnya?" Aku bertanya padanya, tapi dia mendengus dengan keras sebagai balasannya.
"Siapa lagi, pasien yang susah sekali ditangani selain kamu? Kalau saja dari dulu kamu menuruti saranku, penyakitmu itu akan cepat sembuh," keluh Diane terang-terangan.
"Maksudmu? Dengan cara hipnoterapi, dengan aku di hipnotis dan kamu akan bebas mengorek segala hal yang paling pribadi sekalipun dariku? Big No!" Tegasku. Aku memang tidak suka cara penyembuhan model seperti itu. Meskipun Diane bukan salah satu orang iseng yang sengaja mengorek kehidupan pribadiku dan mengeksposnya, tapi tetap saja aku tidak mau. Aku tidak mau hal-hal pribadiku diketahui orang lain selain diriku sendiri.
"Sebenarnya apa sih yang kamu sembunyikan? Kamu terlihat takut sekali aku tahu lebih dalam kehidupan pribadimu."
"Kamu tahu lah, kalau aku memang tidak suka kehidupan pribadiku diketahui orang lain. Bagiku itu adalah pelanggaran privasi."
"Oke terserahlah dengan privasimu itu. Aku juga tidak mau tahu. Tapi, aku kesini, ingin tahu seberapa jauh tingkat kemajuan penyakitmu?" Diane berdiri dan berjalan menghampiriku. Dia berdiri di sisi meja kerjaku dan fokus mendengar penjelasanku.
"Well, sejauh ini sih aku sudah bisa ciuman sama raba-raba sedikit," jawabku sekenanya.
Jawabanku membuat Diane melotot, tapi dia kembali menormalkan ekspresinya dan kembali mendengarkanku.
"Tapi bayangan dan rasa mualnya masih ada, meski tidak sampai muntah. Bukankah itu sudah sangat bagus?" Aku bertanya padanya.
"Cukup bagus. Tapi siapa wanita yang tidak beruntung yang menjadi bahan percobaanmu? Aku jadi penasaran seperti apa dia?"
"Kamu akan tahu sendiri nanti."
Tiba-tiba Diane meraih tanganku seraya tersenyum hangat padaku.
"Aku senang mendengar kemajuanmu itu. Aku harap kamu cepat sembuh dan cepat melupakan kenangan pahit dimasa lalu.
Aku mendengar suara pintu diketuk dari luar.
"Masuk." Aku meyandarkan tubuh pada kursi sementara Diane berdiri bersandar di meja kerja milikku. Marsha masuk sembari membawa nampan berisi dua cangkir kopi ke hadapan kami.
Aku merasakan lirikan tajam dari Marsha. Aku mengangkat sebelah alisku, kenapa lagi dia?
Tiba-tiba Diane duduk di pangkuanku. Aku terkejut dan akan menegurnya. Tapi Diane justru semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Dia berbisik lirih tepat disamping telingaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Neighbor (Tamat)
Ficción GeneralSequel MY BIG BOSS // slow update Di dunia ini ada tiga hal yang aku benci, tubuh gendut, kulit hitam dekil dan pria songong. Tiga hal itu mengingatkanku akan pengalaman buruk 17 tahun yang lalu, dimana ada cowok kira-kira berusia 7 tahun dengan ke...