"Selamat malam pak."
Tubuhku menegang dengan detak jantung yang bertalu cepat. Suara lembut yang familiar menelusup lewat indera pendengaranku.
Perlahan aku mendongak dan melihat dia berdiri disana dengan wajah cantik dan senyum manisnya. Hatiku berdebar dengan jantung yang bertalu semakin cepat. Tanpa bisa kucegah kakiku melangkah dengan begitu cepat, menghampirinya. Aku melihatnya sekilas lalu mendekapnya ke dalam pelukanku.
Aku merindukannya.
Kupeluk dia seerat mungkin, menghirup aroma yang kurindukan serta kurasakan betapa hangat tubuhnya dalam dekapanku.
Aku mengurai pelukanku dan menatapnya dalam diam. Perlahan aku mendekatkan wajahku dan kemudian bibirku menyapu bibirnya dengan lembut dan menggoda. Aku terhanyut dalam rasa manis yang seperti candu untukku.
"Ersya!"
Aku tidak peduli ketika dia terus memanggilku.
"Er? Ersya!!"
Kepalaku terantuk meja ketika suaranya terdengar begitu keras disertai ketukan pintu yang cukup kuat.
Aku membuka mata dan mengamati sekeliling. Sialan! Ternyata semua itu hanya mimpi.
Kuusap wajahku dengan kasar, merasa frustasi. Rindu ini membuatku gila. Kulirik arlojiku, sudah tengah malam. Aku ketiduran dan benar-benar melewatkan makan malam.
"Ersya!!" Teriakan itu kembali menggema dengan gedoran pintu yang keras.
Aku berdiri, berjalan menghampiri pintu dan membukanya. Sosok yang kulihat pertama kali ketika pintu terbuka adalah sosok Nathan yang berdiri dengan percaya dirinya dan wajah menyebalkannya.
"Kapan balik ke Indonesia?" Tanyaku dengan lemah kemudian masuk, membiarkan pintu tetap terbuka.
"Gue baru aja nyampai. Niat hati pengen nginep tempat lo, tapi ternyata lo belum pulang. Alhasil gue kesini dan ternyata lo masih disini," jelas Nathan sembari masuk mengikutiku. Dia merebahkan tubuhnya di sandaran sofa, terlihat lelah.
"Kalo kamu capek ngapain kesini? Harusnya langsung booking hotel, jangan kaya orang miskin," ketusku dengan malas.
"Aduh teganya sama calon adik ipar sendiri."
"Adik ipar kepalamu! Aku ga merestui kalau Caca nikah sama orang modelan kamu."
"Emangnya gue orang model gimana? Gue itu ganteng, tajir melintir, sopan, sayang anak dan tentunya bakal sayang sama istri gue entar. Gue itu s-e-m-p-u-r-n-a," bela Nathan dengan membanggakan dirinya.
"Ga. Kekuranganmu banyak buat Caca. Caca terlalu baik buat cowok fakboy kaya kamu Nath."
"Kalo mau menghina tuh ngaca bro. Kaya lo bukan fakboy aja."
"Beda kasus. Aku terpaksa harus jadi fakboy demi alasan yang kamu pastinya sudah tahu. Sementara kamu itu fakboy sejati, ganti-ganti cewek cuma buat senang-senang."
"Tapi intinya tetap fakboy kan?"
"Terserah! Mending kamu pergi, aku pusing," usirku dengan ekspresi kesal. Aku membereskan pekerjaanku dan mengambil jas yang tersampir disandaran kursi.
"Pergi ke club yuk!"
"Ga. Aku mau pulang terus tidur."
"Yah, ikut kalau gitu."
"Ga. Booking hotel aja sana! Memangnya kamu pikir apartemenku itu hotel." Aku berjalan keluar dari kantor dengan Nathan yang mengikutiku di belakang.
"Tega lo Er, semalem aja deh."
"Ga!"
"Kalau gitu nebeng deh sampai hotel."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Neighbor (Tamat)
General FictionSequel MY BIG BOSS // slow update Di dunia ini ada tiga hal yang aku benci, tubuh gendut, kulit hitam dekil dan pria songong. Tiga hal itu mengingatkanku akan pengalaman buruk 17 tahun yang lalu, dimana ada cowok kira-kira berusia 7 tahun dengan ke...