Kemungkinan saat ini aku sedang kesurupan. Kalau tidak, kenapa aku sekarang berdiri selama dua jam di tempat parkir setelah jam kantor usai?
Seharusnya sekarang aku sudah berada di dalam apartemen, makan sampai kenyang lalu bermalas-malasan di atas kasur, bukannya malah berdiri seperti anak terlantar seperti ini. Awalnya aku memang berpikir untuk tidak menghiraukan perintah Pak Ersya, tapi aku merasa jadi karyawan kurang ajar jika terus mengabaikan perintahnya.
Tapi ternyata tindakanku ini salah total. Tindakan terpujiku justru berujung sial. Kakiku sudah pegal berdiri menunggunya.
Oke, aku akan bertahan lima menit lagi. Kalau dalam waktu lima menit dia tidak juga muncul, lebih baik aku pergi naik angkutan umum.
Beberapa saat kemudian, aku dikagetkan oleh suara klakson dari arah belakang tubuhku. Aku menoleh dan mendapati Mas Aji dibalik kemudi. Mas Aji menurunkan kaca, menampakkan penampilannya yang masih rapi meski hari menjelang maghrib.
"Belum pulang Sha? Nungguin siapa?"
"Nunggu taksi online mas," bohongku. Aku tidak tahu apakah berbohong adalah tindakan yang tepat. Aku hanya merasa jika aku memang harus berbohong soal aku yang tengah menunggu pak Ersya pada Mas Aji.
"Kalau masih lama, dibatalin aja, mas yang akan mengantarmu."
Aku berpikir sejenak lalu melihat jam tanganku. Hari sudah semakin gelap, namun belum ada tanda-tanda pak Ersya akan keluar. Lagipula aku sudah terlalu lama menunggunya. Aku tidak ingin dia besar kepala mendapatiku menunggunya selama itu.
"Oke deh mas, aku ikut mas Aji aja," putusku pada akhirnya.
Aku berputar menuju pintu penumpang dan mas Aji membukakan pintu dari dalam mobil. Begitu aku masuk, aku disambut oleh senyum manis mas Aji.
"Pakai sabuk pengamannya Sha," kata Mas Aji mengingatkan sebelum menyalakan mesin mobil.
Aku sudah akan memasang sendiri sabuk pengamanku, tapi sebelum itu terjadi, Mas Aji memasangkannya terlebih dahulu. Wajah kami yang begitu dekat membuatku menahan nafas. Meski aku tidak punya perasaan spesial untuk Mas Aji, tapi melihat wajahnya dengan jarak sedekat ini membuatku bisa melihat ketampanan dibalik gurat lelahnya. Entah kelelahannya karena urusan kantor atau urusan lainnya. Yang kutahu menjadi manager keuangan memang bukan perkara mudah. Jika ada kesalahan dari tim, yang akan menanggung akibatnya pertama kali adalah manager.
Kami saling bertatapan untuk sesaat. Aku tahu jenis tatapan apa yang diberikan Mas Aji untukku. Tapi aku tidak merasakan apapun dari tatapan itu, beda saat aku tidak sengaja bertatapan dengan Pak Ersya, aku merasa tubuhku seperti tersengat listrik.
"Mas," panggilku ketika Mas Aji belum juga beranjak dari jarak yang begitu dekat denganku.
Mas Aji berdehem, lalu menjauhkan tubuhnya. Lantas dia segera menghidupkan mesin dan menjalankan mobilnya. Ketika mobil akan berbelok menuju pintu keluar pelataran parkir, aku bisa melihat Pak Ersya yang tengah berdiri di depan lobi kantor. Sorot matanya yang tajam membuatku mengernyit. Aku mengikuti arah pandangnya dan terkejut ketika akulah yang menjadi pusat pandangnya. Aku segera memalingkan wajah dan memperhatikan jalanan di depan.
"Ada apa Sha? Kelihatannya kamu panik gitu?" Tanya Amas Aji sambil memanuver mobilnya, membelah jalan yang semakin padat.
"Ga kok mas," aku tersenyum canggung pada Mas Aji. Aku bergidik ngeri membayangkan sorot mata tajam Pak Ersya yang ditujukan padaku. Aku terus merapalkan kalimat 'aku tidak bersalah', seolah itu sebuah mantra sihir yang bisa menepis kesialan saat bertemu pak Ersya nanti. Toh, aku memang tidak salah apa-apa. Bukankah yang seharusnya merasa bersalah itu Pak Ersya, karena membiarkanku menunggu seperti orang bodoh di parkiran selama lebih dari dua jam. Benar, memang pak Ersya yang salah. Aku berusaha mencari pembenaran atas tindakanku barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss My Neighbor (Tamat)
General FictionSequel MY BIG BOSS // slow update Di dunia ini ada tiga hal yang aku benci, tubuh gendut, kulit hitam dekil dan pria songong. Tiga hal itu mengingatkanku akan pengalaman buruk 17 tahun yang lalu, dimana ada cowok kira-kira berusia 7 tahun dengan ke...