part ini berisi drama :')
Sepanjang perjalanan, Ayah gak ngomong apa-apa. Kak Jungwoo juga diem aja. Bahkan sampe rumah, belum ada yang ngomong apapun, tapi emosi Ayah jelas banget kelihatan dari bahasa tubuhnya yang terkesan kasar.
Baru sampe ruang tamu, gue kaget banget waktu tiba-tiba Ayah nendang kaki meja —bahkan gue sampe ngejatohin ransel berisi baju yang gue tenteng.
Ayah menghela nafas kasar. Sumpah gue gak berani mandang matanya.
"Ayah tuh gak habis pikir ya sama kamu," kata Ayah. Gue semakin nunduk, sumpah takut banget.
"Bang —"
"Kamu juga gitu, kan Ayah bilang jagain adeknya. Bukannya malah ditinggal main sendiri kayak gitu," potong Ayah. "Lagian untungnya ngebohongin Ayah tuh apa, sih?"
Baik gue maupun Kak Jungwoo gak ada yang berani jawab.
"Apa kurang sabar Ayah selama ini? Atau emang kalian ini minta dikerasin aja?"
"..."
"AYO JAWAB," bentak Ayah.
"M-maaf —"
"Siapa yang nyuruh kamu minta maaf?" potong Ayah. "Ayah minta kamu jawab, bukan minta maaf."
Gue gak tahan, air yang udah dari tadi menuhin kelopak mata gue akhirnya jatuh juga.
"Kenapa nangis? Ayah kira kamu udah berani bohong gitu berarti gak takut sama Ayah," kata Ayah lagi.
"Yah, udah," lerai Kak Jungwoo sambil ngerangkul pundak gue kemudian narik gue selangkah mundur.
"Aku yang salah, aku yang ngijinin Sunny main," kata Kak Jungwoo lagi.
"Ya kalo dia tau diri harusnya gak berangkat dong, kan udah Ayah bilangin juga sebelumnya," balas Ayah.
"Tapi kan ini cuma buat liburan, Yah —"
"Kalo Ayah bilang gak boleh ya jangan berangkat. Emang selama ini dia ikut siapa? Ikut Ayah apa cowok yang namanya Haechan itu??"
Dada gue kayak dipukul waktu nama Haechan terucap dari mulut Ayah. Sampe tanpa sadar gue mendongak, natap Ayah dengan muka gue yang gak tau gimana bentuknya sekarang.
"Yah, ini pilihan aku, jangan bawa-bawa Haechan," kata gue sesenggukan.
"Ya emang kamu kesana karena siapa kalo bukan karena dia?" kata Ayah. "Ayah tuh gak mau kamu deket sama dia karena Ayah gak mau susah sendiri nantinya."
"Tapi —"
"Sunny, ini peringatan terakhir ya buat kamu," potong Ayah. "Silakan pilih, Ayah atau Haechan."
Pundak gue melemas, udah gak bisa ngomong lagi saking banyaknya perasaan yang bercampur.
"Ayah bilang gini biar kamu bisa mikir ya, Sunny. Kamu selalu nyalahin Ayah atas perceraian Ayah sama Mama kamu. Tapi —"
"Ayah!" sela Kak Jungwoo.
"Tapi lihat sekarang, kamu pun gak ada bedanya," lanjut Ayah. "Ayah kasih tau ya Sunny, di awal pun Ayah sama Mama kamu bersikeras nyoba bareng-bareng nyatuin perbedaan kita. Bahkan bela-belain mondar-mandir sini-Surabaya buat minta ijin sama orang tua masing-masing buat tetep nikah, tapi kamu lihat sendiri, kita tetep cerai juga. Hal-hal kecil mungkin masih bisa ditoleransi, tapi kamu gak tau di belakang nanti ada apa. Ayah tuh pengen kamu bisa berpikir realistis. Jangan mentang-mentang suka terus seenaknya. Sekarang kamu mikir, inget, enak gak ditinggal cerai orang tua? Enak gak keluarga kamu pecah kayak gini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Ineffable ✔
Fanfiction[ bahasa | completed ] (adj.) too great to be expressed through words was "Adek ; Lee Haechan" au | non baku winterwoops ©2019