Alice hanya duduk termenung didalam kamarnya. Sekarang harapan tinggalah harapan, entah siapa lagi yang akan ia jadikan sandaran setelah kakek dan eyangnya pun juga pergi meninggalkannya.
Ia tidak menangis, sekarang rasanya sudah mati rasa. Yang ia lakukan hanya duduk dan melamun, masih sempat ia pikirkan kalau semangatnya tinggalah kakek dan eyangnya, tapi jika kini keduanya sudah tak ada, siapa lagi yang ia punya untuk mendengarkan keluh kesahnya?
Apa Alice harus ikut dengan mereka semua yang meninggalkannya?
Tidak ada pemakaman, pesawat yang ditumpangi kakek dan eyangnya meledak didalam laut. Tim pencari kesusahan mencari DNA para korban, karena mereka sudah tak utuh lagi. Tidak ada yang selamat dari kecelakaan itu.
Alice sempat berharap ada keajaiban kalau kakek dan eyangnya tidak ikut dalam pesawat itu, tapi mungkin semesta tak pernah berada dipihak Alice. Itu yang ia pikirkan, saat melihat daftar nama korban dan ada nama kakek serta eyangnya ada disana.
Banyak yang datang kerumahnya, kerabat, saudara bahkan teman-temannya, tapi ia sama sekali tak minat untuk menemuinya. Sejak kemarin ia sudah mengurung dirinya didalam kamarnya, tak banyak yang ia lakukan, hanya diam dan merasakan sepi dikehidupannya.
Suara ketukan pintu tak membuat ia mengalihkan pandangannya,.
"Alice, abang masuk",. Baret masuk kedalam kamarnya, melihat Alice iba, Baret juga berpikir, kenapa gadis seperti Alice harus memiliki takdir seperti ini.
Baret melangkahkan kakinya mendekat, lalu duduk dikasur Alice,. "Dek, ayo makan. Dari kemarin kamu belum makan",.
Alice tak merespon, ia masih sama, duduk termenung dengan tatapan kosong,.
"ALICE",. Bentak Baret,.
"Mau sampai kapan kamu kayak gini?",. Lanjutnya.
Tes.....
Satu tetes air mata lolos dari pelupuk mata Alice, Baret yang melihatnya menghela nafas panjang,.
"Kenapa bang? Alice selalu ditinggalin semua orang yang Alice sayang",.
Lagi, Alice mengatakan itu kembali membuat air matanya luruh satu persatu. Pertahanan sudah benar-benar hancur. Ia lemah, ia sendiri.
"Alice, jangan ngomong gitu. Masih ada abang, ada kedua orang tua abang yang sayang sama kamu",. Ungkap Baret lirih seraya meraih tangan Alice yang berada diatas selimut,.
Dengan tatapan kosong Alice kembali menjawab,. "Ayah, Mama, Kak Kenzie, Kakek, Eyang. Terus habis ini siapa lagi yang ninggalin Alice?",. Tanya Alice, mendengarnya saja membuat hati Baret tersayat begitu sedih.
Baret memang sudah tau tentang putusnya hubungan Kenzie dan Alice, setelah Tisa mengatakan semuanya. Dan Baret bersumpah akan membuat perhitungan setelah semuanya kembali normal, dan Alice kembali pulih.
"Kenapa nggak Alice aja sih yang pergi, daripada aku yang ditinggal sendiri, lebih baik aku aja yang pergi",. Lanjut Alice
"ALICE, JAGA BICARA KAMU",. Bentak Baret. Ia memejamkan matanya, mencoba menetralkan emosinya mendengar ungkapan Alice baru saja.
Alice menoleh, menatap Baret dengan tatapan pias,.
"Jangan pikirin macem-macem, sekarang makan ya",. Kata Baret,.
Alice kembali memalingkan wajahnya,. "Alice nggak laper, Bang Baret aja yang makan",. Tolak Alice, lalu merebahkan tubuhnya, berbaring miring memunggungi Baret.
Baret berdecak kesal,. "Alice, mau sampe kapan kamu kayak gini?",.
"Sampe Alice nyusul Ayah, sama Ibuk",. Katanya, air matanya kembali menetes membasahi pipinya, lalu segera menghapusnya. Tapi itu tetap saja percuma, Baret melihatnya,.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAME OF TEENEGERS
Teen Fiction"mau kakak apa sih sebenarnya?" "mau gue, lo jadi pacar gue". "tapi saya nggak mau jadi pacar kakak, saya nggak suka sama kakak". "lo pikir gue suka sama lo? ngarep banget lo". kalimat Kenzie berhasil membuat Alice diam, "tenang aja, gue juga nggak...