Bisa-bisanya gue lupa ngabarin anak gue kalau hari lembur. Rasa bersalah seketika jadi menghantui. Gue tau kalau Alika gak marah, tapi tetep aja gue ngerasa bersalah.
Lembur di bulan ramadhan adalah salah satu hal yang paling gue hindari, tapi kadang ini sekali dua kali terjadi. Mungkin kalau di keluarga lain ini gak jadi masalah besar, tapi bagi gue hal tersebut menjadi kesedihan tersendiri.
Mengingat Alika buka puasa sendiri dan gue sibuk dikantor bikin perasaan gue campur aduk. Mungkin anak-anak kantor yang liat gue saat ini jadi takut mendekat karena raut wajah gue bener-bener gak ngenakin.
"Pak Satya buka puasa dulu, anak-anak udah kumpul." Fay mendekat dengan ragu-ragu.
Gue cuma mengangguk dan mengikuti Fay dari belakang.
"Pak Satya, kalau mau balik duluan gakpapa. Pasti kepikiran sama Alika ya?" tebak Fay.
Gue sedikit kaget, peka juga staff divisi gue yang satu ini. Tapi gue cuma bisa tersenyum paksa, mana bisa gue sebagai kepala divisi ninggalin mereka duluan?
Jam sembilan gue baru keluar kantor. Kebiasaan anak-anak divisi gue kalau lembur adalah nanyain siapa yang enggak bawa kendaraan. Udah malem jadi mending cari barengan aja dari pada balik sendiri. Apalagi kalau cewek, sedikit rawan.
"Ada yang gak bawa kendaraan?" tanya gue yang udah bersiap buat balik.
"Fay sama saya Pak!" seorang perempuan bernama Anin mengacungkan tangan.
Setau gue mereka kalau ngantor suka barengan karena rumah keduanya deket. Mungkin motor Anin lagi gak bisa dipakai jadi hari ini gak boncengan.
"Yaudah, sekalian sama saya aja." tawar gue.
Akhirnya gue nganterin Fay sama Anin balik, tapi dijalan Anin berisik banget. Nanyanya aneh-aneh juga, gue sedikit gak nyaman sebenernya.
"Pak Satya, tau gak sih anak divisi sebelah ada yang naksir bapak! Cantik lho pak!" seru Anin.
"Temen saya juga ada yang naksir sama bapak hehe," lanjutnya.
"Anin!" Fay menegur.
"Ngasih info doang Fay, kaku banget deh."
"Oh iya pak, emang enggak ada rencana buat nikah lagi ya?" Anin bertanya.
Gue nyesel nawarin ngaterin mereka balik. Tau gitu gue orderin kendaraan aja buat mereka.
"Maafin temen saya ya Pak, dia kalau habis lembur otaknya menciut," Fay meminta maaf.
***
Sampai dirumah gue liat ternyata Alika enggak ada di rumah. Kemungkinan masih di rumah Jaerend. Akhirnya gue bergegas jalan ke rumah Jaerend.
Kebetulan pintu rumah Jaerend kebuka, disana gue lihat Jaerend, Calvin, Putri sama Alika lagi nonton TV bareng. Alika terlihat nyaman tiduran dipangkuan Putri.
Gue terpaku selama beberapa detik, rasanya sakit lihat orang yang sedang mengusap rambut anak gue itu bukan ibunya sendiri.
Pikiran gue mendadak jadi kemana-mana.
"Assalamualaikum," kata gue akhirnya.
"Wa'alaikumsalam..." jawab mereka.
"AYAAAH!" seru Alika yang segera bangkit dan menghampiri gue.
"Lama banget huhu," keluhnya sambil bergelayutan dilengan gue.
"Ayah udah makan kan?" tanyanya.
"Hmmm, tapi ayah mau ngobrol sama Om Jaerend dulu sebentar. Kamu balik dulu ya? Nanti ayah susul."
"Ok! Tapi nanti bikinin teh lemon."
Gue mengangguk sambil merapikan rambut Alika.
***
"Jadi ada apa?" tanya Jaerend to the point.
"Kalau gue nikah lagi gimana ya Je?" tanya gue langsung pada intinya.
"Hah?" Jaerend kaget.
"Gue minta saran ini."
Jaerend terdiam sejenak, jelas dia kaget. Gue dateng-dateng minta pendapat mau nikah lagi.
"Lo serius? Udah ada orangnya?" tanyanya dengan nada tidak sabaran.
Gue menggelang, "Belum, dan itu masalahnya."
"Lo kenapa mau nikah lagi? I mean you look so fine after all?"
"Gue emang baik-baik aja, tapi gue pengen Alika juga seneng punya keluarga yang lengkap," terang gue.
Baju Jaerend sedikit melemas, rapi raut wajahnya masih terlihat tajam.
"Wait, cari mama baru buat Alika gak jamin bikin anak lo bahagia. Sekarang gue tanya deh, lo beneran mau nikah lagi?"
Gue mengangguk mantap. Jaerend memutar bola matanya.
"Gue ada ide."
"Gimana kalau ta'arufan?" tanyanya.
"Hah?" rada shock juga sama rekomendasi Jaerend.
"Gue ada kenalan orang yang sering ngurusin ta'aruf. Semacam perantara gitu. Gue gak tau apakah ini bakalan berhasil atau enggak, tapi kalau lo mau ntar gue bisa bantu."
"Satya mau ta'arufan?" Putri keluar rumah dengan membawa nampan berisi teh.
Gue mengangguk.
"Lo yakin?" Putri malah terdengar ragu.
"Lo itu ganteng Sat."
"Yang!"
"Satya emang ganteng kok. Aku belum selesai ngomongnya!" Putri menegur Jaerend.
"Gini lo Sat, dari pada ta'arufan dan kenalan sama orang asing. Apa gak lebih baik cari hang deket-deket aja? Lo masih gagah ganteng lagian, mada iya gak ada yang mau," terang Putri panjang.
Gue malah jadi gak enak sama Jaerend, soalnya matanya udah menyipit ngeliati istrinya. Ya ampun Je, masih aja sih.
"Kayaknya gue lebih setuju saran Jaerend Put. Gue udah gak muda, gak semua orang bisa nerima keadaan gue. Mungkin dengan ta'aruf dan menulis sedikit cerita gue ada yang bakal nerima gue. Apalagi gue gak sendiri, gue punya Alika yang otomatis dia orang bakalan jadi istri gue harus bisa nerima Alika juga. "
"Kalau lo lebih nyaman ta'arufan terserah Sat. Mungkin jodoh lo bakalan dateng dengan cara itu, who knows?" Putri tersenyum sambil menepuk bahu gue sekilas.
——————————————
——————————————Haiii, chapter ta'aruf beberapa nama mbak-mbak nya nanti aku ambil dari nama kalian yang kemarin ikutan main game "Satya: I'm looking for a wife".
Kenapa ribet banget pakai pinjem nama? Jawabnya simple, karena aku mau kalian ikut berpartisipasi sebagai rasa terimakasih aku karena udah mau baca cerita aku!
Yang namanya belum masuk cerita don't be sad! Nanti kapan-kapan aku masukin dilain kesempatan jika beruntung ehehew.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satya and His Daughter
General FictionSatya, single parent yang bercerai 9 tahun yang lalu ketika anaknya baru berusia 9 tahun. Ini cerita tentang hiruk pikuknya sebagai seorang ayah yang menjadikan putrinya sebagai dunianya. Enggak ada yang lebih penting dari Alika Giandra, putri semat...