Hampir aja, hari ini gue izin buat gak masuk kerja. Harusnya memang gue lakuin aja, karena nyatanya meskipun gue ada di kantor, pikiran gue ada di rumah. Tepatnya gue mikirin Alika.
Jam tiga sore nanti Alika pengumuman SBMPTN. Dan sedikit lebay, gue kepikiran terus. Kepikiran sama hasil iya, kepikiran sama anaknya juga iya. Sebagai orangtua, gue pasti berharap kalau Alika lolos. Lihat dia belajar pagi, siang, malem, kadang bikin gue khawatir sendiri sama badannya.
Alika udah berusaha keras demi masuk PTN. Meskipun dia berulang kali ngomong ke gue, apapun hasilnya dia bakalan ikhlas. Tapi tetep aja gue khawatir kalau Alika sedih dan kecewa. Bisa aja dia bilang ikhlasn, tapi dalam hatinya dia kecewa.
Gak ada yang bisa gue lakuin selain berdo'a. Bukan kuasa gue juga buat bantuin Alika lolos ujian masuk perguruan tinggi. Kalaupun gue bisa masukin dia ke PTN lewat jalur belakang, gue juga enggak mau lakuin juga sih. Sesuatu yang gak diawali dengan kejujuran biasanya banyak batunya.
Jam menunjukkan pukul satu siang. Alika tadi gue chat tapi belum juga dibales. Makin kepikiran kan gue. Akhirnya gue chat Calvin, semoga aja dia ada di rumah dan bisa dimintai tolong.
Habis chat sama Calvin, perasaan gue sedikit lebih tenang. Seenggaknya, Alika enggak sendirian saat ini. Jujur gue takut banget kalau kejadian waktu pengumuman SNMPTN keulang. Alika nangis dan bilang kalau takut bikin gue kecewa.
Demin Tuhan, gue gak pernah yang namanya kecewa sama prestasi anak. Seandainya Alika itu enggak sepertinya Alika yang sekarang, yang rajin belajar dan nilai akademiknya bagus, gue tetep gak kecewa. Atau seandainya Alika dapet nilai jelek, gue juga gak bakal kecewa.
Tingkat kecerdasan anak itu beda-beda, seandainya dia udah berusaha tapi hasil enggak memuaskan, yaudah mau gimana lagi? Masih bisa hari esok buat belajar dan berusaha.
Lagi pula buat apa marahin anak yang nilainya jelek atau prestasinya kurang bagus? Bukan kita yang ngerjain soal ujian mereka. Kita dikasih soal ujian mereka, belum tentu juga kita bisa ngerjainnya.
***
Lampu rumah masih belum ada yang menyala satupun. Seakan dejavu, gue mulai gak tenang. Ruang pertama yang gue tuju adalah kamar Alika. Dalam hati, gue harap-harap cemas. Ternyata waktu gue buka, kamarnya kosong.
Gue langsung ngambil ponsel yang ada disaku celana.
"Assalamualaikum, halo Alika?"
"Waalaikumsalam, iya Ayah? Bentar ini lagi di jalan."
"Baru balik sama Calvin?"
"Iya, ini udah sampai rumah depan kompleks kok Yah."
"Jalan kaki?" tanya gue heran. Biasanya mereka suka boncengan pakai sepedanya Calvin kalau main di area sekitar kompleks.
"Calvin males boncengin nih, jadinya jalan."
"Oh oke, Ayah bawa castela. Calvin suruh mampir sekalian."
"Siap Om!" terdengar suara sama-sama Calvin menjawab.
"Gausah! Balik aja sana!" usir Alika.
"Yang nawarin bukan lo!"
"Ayah tutup ya?"
"Oh. Iya Yah."
***
"Assalamualaikum..." Alika memasuki rumah diikuti Calvin dari belakang.
Ekspresinya terlihat biasa aja, seolah enggak ada yang terjadi.
Kalau lolos bukannya harusnya dia memekik kegirangan sambil meluk gue ya?
Bukan maksud gue ke-pd-an, tapi kebiasaan Alika kan kayak gitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satya and His Daughter
General FictionSatya, single parent yang bercerai 9 tahun yang lalu ketika anaknya baru berusia 9 tahun. Ini cerita tentang hiruk pikuknya sebagai seorang ayah yang menjadikan putrinya sebagai dunianya. Enggak ada yang lebih penting dari Alika Giandra, putri semat...