Ayah pernah bilang kalau, sekalinya Mama berusaha, Mama bakalan kerahin segala yang dia bisa buat wujudin keinginan dia. Sifat pekerja keras dan ambisinya, sedikit banyak nurun ke aku. Sebenarnya aku juga gak tau aku ini lebih nurun ke Ayah atau Mama, karena menurut cerita Tante Putri, kedua orangtuaku itu hampir mirip dari segi sifat.
Bedanya, Ayah lebih bisa ngontrol ambisi dia. Sementara Mama, kalau ibaratin naik mobil, dia nge-gas melulu tanpa kenal gimana caranya mengendarai mobil dengan santai.
Aku sendiri juga termasuk anak yang bisa dibilang ambisius, ketika aku mau A, aku bakal usaha buat dapetin A. Kalaupun gagal seperti SNMPTN kemarin, aku masih punya tekat kuat buat ikut ujian tertulis dengan tekat yang bisa dibilang lebih berapi-api dari sebelumnya.
Tapi meskipun aku fokus belajar, dengan intensitas yang bisa dibilang kayak orang gila karena bahkan aku belum mau tidur sebelum pukul 1 pagi. Aku juga gak lupa buat seneng-seneng, kadang aku juga main sama Pili kelinciku, kadang juga main kerumah Calvin, atau sekedar chatting dengan temen-temen.
Kata Ayah, gagal itu wajar. Yang gak wajar adalah ketika kita mau banyak hal tapi saat dikasih kegagalan kita langsung nyerah. Padahal kita mau banyak hal dalam hidup kita, masa iya baru gagal sekali langsung nyerah. Apa pantas aku mengingkan banyak hal kalau ketika dikasih gagal langsung nyerah?
Kalau kamu jatuh, bangkit lagi dan semangat lagi. Ada orang yang dalam sekali jalan langsung bisa dapetin yang dia mau, ada juga yang harus ngelewati banyak rintangan dulu.
Dengan gagalnya aku kemarin, aku janji sama Ayah dan diri aku sendiri buat berusaha lagi. Aku optimis bisa, tapi semisal hasilnya tetep gak sesuai sepertinya aku gak bakal kecewa. Karena dibalik usahaku, ada Ayah yang selalu bilang kalau gakpapa kalau aku gagal, toh masih ada pilihan-pilihan lain.
Jadi aku mirip siapa?
"Sayang, udah makan belum?" Ayah membuka pintu kamarku.
Aku menunjukkan bekas piring kue dimejaku tanpa suara kepada Ayah.
"Makan nasi?" tanyanya lagi.
"Belum," jawabku sambil memutar kursi belajarku menghadap Ayah.
"Makan yuk? Makan diluar sekalian jalan-jalan?"
"MAU!"
Aku melirik jam diatas meja belajarku yang menunjukkan pukul 18.30. Baru hendak mengikuti Ayah keluar kamar, bell rumah kami berbunyi.
"Bukain dulu ya Dek," suruh Ayah yang kembali masuk ke kamarnya untuk mengambil dompet dan kunci mobil.
Aku kemudian bergegas menuju ruang tamu dan membukakan pintu untuk tamu tersebut.
"Mama?"
Mama tersenyum lebar saat melihatku membukakan pintu. Kemudian ketika aku membiarkannya masuk, dia bergegas masuk ke dalam rumah dan menungguku di sofa ruang tamu.
Hari ini tepat, 4 hari sejak Mama kemari di Hari Lebaran. Dan kalian harus tahu, selama 4 hari juga dia mulai mengirimiku pesan-pesan yang menurutku aneh.
Iya aneh, karena pertanyaan basic yang dia tanyakan. Kadang males juga balesinnya, tapi ketika aku tidak menjawab dalam kurun waktu dua jam, Mama akan bertanya kepada Ayah. Jadinya aku kena tegur Ayah, kalau ketawan enggak bales chat Mama.
"Mama bawain dimsum, kalian udah makan?" tanyanya.
Aku masih diam didekat pintu, sejujurnya aku masih canggung dengan Mamaku sendiri.
Suara langkah kaki Ayah mendekat, kemudian ekspresinya menunjukkan raut kaget karena melihat Mama yang ada diruang tamu. Mama membalas tatapan Ayah dengan canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satya and His Daughter
Ficção GeralSatya, single parent yang bercerai 9 tahun yang lalu ketika anaknya baru berusia 9 tahun. Ini cerita tentang hiruk pikuknya sebagai seorang ayah yang menjadikan putrinya sebagai dunianya. Enggak ada yang lebih penting dari Alika Giandra, putri semat...