Ditinggal di rumah sendirian bagiku udah biasa. Dulu ketika Ayah izin lembur, aku akan pergi main ke rumah Om Jaerend. Tapi seiring berjalannya waktu, kadang aku hanya akan di rumah sendirian sambil melakukan aktivitas yang aku suka.
Biasa. Enggak ada perasaan sedih atau yang lain.
Aku biasa sendirian dalam keadaan sepi karena aku memang sudah terbiasa.
Hari ini aku pulang sedikit lebih malam. Aku harus menyelesaikannya tugas kelompok dulu. Dan di hari ini Ayah kebetulan lembur.
Aku pulang lebih dahulu dari pada Ayah. Lampu rumah yang masih padam mulai aku nyalakan, ketika aku melewati saklar-saklar itu. Hanya ada suara gemericik suara kolam Koi Ayah yang terdengar di rumah ini. Pandanganku kemudian memindai keadaan rumah yang rapi namun sepi itu.
Kemarin, ketika aku pulang sedikit lebih malam, Ayah sudah menyambutku di ruang TV. Tapi hari ini aku kehilangan sosoknya. Ayah masih belum pulang, TV masih dalam keadaan mati.
Badanku terasa lelah, tapi aku sungguh malas untuk berjalan lebih jauh. Di sofa berwarna beige, aku melempar tubuh lelahku. Aku menghadapkan tubuhku ke arah LCD TV yang amat besar. Itu TV kesayangan Ayah, yang setiap hari tugasnya membuat suara berisik agar rumah terlihat hidup dan tidak sepi.
Melihat TV, aku jadi kepikiran Ayah.
Kalau aku pulang malam, berarti Ayah sendirian di rumah dan hanya di temani TV raksasa itu. Tiba-tiba ada perasaan sendu disana. Memikirkan Ayah sendirian di rumah tiba-tiba membuat perasaanku berubah menjadi sebuah rasa sedih.
Bagaimana ya perasaan Ayah sendirian di rumah?
Kalau Calvin keluyuran sampai malam, Tante Putri masih ada Om Jaerend yang nemenin. Tapi kalau Ayah? Dia sendirian.
Pikiranku kemudian mengeksplor lebih jauh lagi.
Tapi Mama bukannya lebih lama sendirian dari pada Ayah? Dan dia juga kelihatan bisa melewati semuanya sendiri? Kenapa aku enggak peduli? Padahal Mama tinggal di apartemen yang mana penghuninya kebanyakan anti sosial.
Jadi bagaimana? Ayah bakalan baik-baik aja kan, kalau aku sibuk dan sering pulang malam?
"Al?"
"Alika?"
"Masuk aja Vin," aku setengah berteriak dengan posisi yang masih merebahkan diri di sofa.
"Ayah lo lembur katanya?"
"Iya."
"Mama bikin gule. Nih," dia meletakkan toples di meja depanku.
"Hmmmm."
"Lemes amat?"
"Kerja rodi seharian, capek," jawabku yang masih malas-malasan.
Calvin akhirnya mengambil kembali toples itu dan berjalan ke ruang makan. Tak lama dia kembali bersuara, "Al, nasi lo basi. Magic comp-nya rusak nih."
"Yaaaa, nanti aku bilang Ayah suruh beli baru."
Langkah kaki Calvin kembali mendekat. "Lo makan di rumah gue aja. Sekalian ambilin nasi buat Ayah lo. Barangkali dia belum makan."
Sebenernya dari pada mikirin aku mau makan apa, dari tadi aku kepikiran Ayah udah makan atau belum. Dan aku yakin Ayah di kantor juga mikirin anaknya udah makan atau belum. Kami memang selalu seperti ini, saling mengkhawatirkan satu sama lain, yang kadang malah bikin kami jadi enggak peduli sama diri sendiri.
Aku mengikuti Calvin ke rumahnya. Di teras depan terlihat Om Jaerend dan Tante Putri yang sedang minum teh—atau mungkin kopi, berdua.
Keluarga mereka terlihat selalu hangat, sehingga aku suka berada di dekat mereka.
"Baru balik Al?" sapa Om Jaerend.
"Iya Om. Mau minta makan, nasi di rumah basi," terangku.
Berikutnya ada Tante Putri yang menemaniku makan.
"Ma, aku mau pergi dulu."
"Kemana?"
"Ke kosan temen. Ntar sebelum jam 12 aku balik."
"Hati-hati, pamit sama Papa juga sana."
Berikutnya Calvin langsung meninggalkan ruang makan.
"Tante. Kalau Calvin pergi gitu, rumah sepi ya?"
"Hmmm, sepi. Soalnya Om Jaerend enggak ada temennya berantem, tante juga enggak berisik ngomel-ngomel."
Aku mengangguk. "Tapi tetep gak kesepian kan Tante?"
"Cuma sesaat kalau lagi pada enggak di rumah. Sore hari Om Jaerend udah balik kan, Calvin juga. Jadi rumah gak sepi-sepi amat."
"Kalau Calvin balik malem berarti Tante enggak kesepian juga?"
Bukannya menjawab Tante Putri malah tersenyum lebar. "Kamu kenapa Sayang?"
Helaan nafas beratku terdengar. "Aku kepikiran Ayah." Sesi curhatku kemudian dimulai.
"Kan selama ini kalau Ayah di rumah selalu ada aku juga. Tapi sekarang beda. Kadang Ayah harus sendirian di rumah."
Tante Putri mendengarkan dengan serius di sampingku.
"Tante kan ada Om Jaerend. Kalau Ayah kan sendirian. Tiba-tiba aku kepikiran aja... Apalagi waktu rumah sepi kayak tadi. Aku biasa di rumah sendiri, dan aku gak masalah, aku udah terbiasa. Tapi Ayah?"
"Tante paham kok. Soalnya kamu selama ini cuma tinggal berdua sama Ayah. Ayah kamu setiap ninggal kamu di rumah sendiri pasti juga khawatir juga sama anaknya." Tangan Tante Putri bergerak merapikan rambutku.
"Tadi aku baru aja mikir. Dari pada Ayah, Mama lebih lama sendirinya. Mama gimana ya Tante? Apa dia ngerasa kesepian? Atau malah dia suka sendirian?"
"Tante enggak tau. Ada orang-orang yang enggak suka sendirian, ada orang yang malah lebih suka menyendiri."
"Kalau gitu pertanyaannya aku ganti deh."
"Menurut Tante sendirian di hari tua rasanya gimana?"
Mata Tante Putri melebar. "Eum.... Sendirian di hari tua?"
"Pasti enggak enak kan Tante? Karena aku sendiri ngebayanginnya malah jadi sesuatu yang menakutkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satya and His Daughter
General FictionSatya, single parent yang bercerai 9 tahun yang lalu ketika anaknya baru berusia 9 tahun. Ini cerita tentang hiruk pikuknya sebagai seorang ayah yang menjadikan putrinya sebagai dunianya. Enggak ada yang lebih penting dari Alika Giandra, putri semat...