Seminggu setelah gue ngisi biodata ta'aruf gue dapet telpon dari Jaerend. Katanya minggu nanti kita ketemu sama calon perempuan yang mau ta'aruf sama gue.
Tiga hari sebelumnya Jaerend ngasih gue beberapa biodata perempuan. Asli disitu gue bingung, kenapa gue bisa disuruh milih sendiri? Bahkan gak ada pihak yang nerangin calon A, B, C, ini gimana.
Setelah debat kecil sama Jaerend, akhirnya gue ngehubungin sendiri ustadz yang jadi perantara ta'aruf. Kata ustadz perantara, insyaallah bakalan ada yang cocok. Dalam hati, gue masih ganjel denger jawabannya.
Akhirnya gue iyain aja, soalnya Alika terlanjur girang sendiri. Waktu lihat dan baca biodata mereka, sejujurnya gue bingung karena cuma bisa baca deskripsi dan memilih salah satu diantara mereka.
Flashback
"Yah, kok ta'arufan bisa milih calon sih?" tanya Alika.
Ayah juga bingung dek, kenapa Jaerend tau-tau ngasih formulir perempuan yang mau ta'aruf ke gue? Dan ini jumlahnya gak cuma satu atau dua, tapi banyak.
Ini beneran ta'aruf atau apaan sih Je? Nyesel jadinya, tapi udah terlanjur juga.
"Wuiiih, cantik nih Ya! Tapi gak bisa masak ahaha," Alika ketawa sambil ikutan baca biodata beberapa perempuan itu.
Alika waktu denger gue mau ta'aruf responnya positif banget. Bahkan dia tuh kayak berasa mau punya temen baru.
"Nih Yah baca, bisa ngangkat galon sama gas elpiji 12kg. Yaampun dikira ayah cari kuli panggul apa sih?"
Gue biarin aja Alika ikutan berkomentar, pokoknya kalau Alika cocok nanti gue iyain aja. Kesannya gue kayak maksain hati, tapi beneran gue mau Alika ngerasain punya ibu yang bener-bener ada buat dia.
Entah kenapa bulan ramadhan kali ini gue ngerasa makin emosional dan sedih. Apalagi kalau waktu balik kerja lihat Alika udah sibuk didapur buat masak nasi dan ngelakuin hal yang dia bisa seperti goreng lauk atau motongin sayur. Dan gak berhenti sampai disitu, nanti waktu sahur gue sering kecolongan karena Alika udah duluan didapur.
Gak salah seorang anak bantuin masak, tapi ada sesuatu didalam diri gue yang terus-terusan ngerasa bersalah.
Disaat anak-anak lain bangun sahur tinggal makan, Alika harus berkutat dengan dapur tanpa sosok ibu yang nyiapin makanan sahur buat dia.
"Ayah, yang ini gimana?" Alika menyodorkan selembar kertas.
"Ririne?"
"Kenapa yang ini?" tanya gue sambi ngebaca biodata yang dikasih Alika tadi.
"Fotonya cantik hahaha."
"Beneran loh dek, ini bukan main-main."
"Beneran Yah, mbak Ririne cantik tuh. Ntar kalau punya anak bisa kayak Alika gini, cantik hahaha," Alika kemba tertawa.
"Tapi kamu anak centil," gue nyubit lengan Alika pelan karena gemes.
Kemudian gue baca profile yang dipilih Alika tadi. Waktu gue baca emang gak ada hal aneh, anaknya sepertinya lurus juga dan belum ada indikasi macem-macem.
"Ayah coba kenalan sama yang ini ya?"
Alika mengangguk sambil tersenyum lembut.
Flashback end
Dan sekarang kita, yang terdiri dari gue, Jaerend dan Alika udah ada dirumah perempuan yang kemarin biodatanya dipilih Alika.
Yang gue heran, Alika excited banget. Gak ada ekspresi dia grogi atau yang lainnya. Mantep banget kayaknya pengen punya Mama baru. Disini gue sedikit gak paham sama pikirannya Alika, beneran semudah ini buat nerima orang baru buat jadi mama dia? Seterbuka itukah anak gue?
"Hijabnya dibenerin dulu sayang," tegur gue.
"Ini tuh hijab style ala turki Ayah! Emang gini."
"Ck!" gue langsung masukin rambut-rambut yang mencuat didahi anak gue.
"Ayah ih!"
"Ayah gak tau hijab turki, hijab korea, pokoknya yang Ayah tau kalau pakai hijab rambutnya gak boleh kelihatan."
Jaerend cuma ketawa pelan lihat muka Alika yang udah manyun-manyun karena gaya hijab turki dia gue kacauin.
"Ayuk," ajak gue sambil ngandeng Alika yang masih bete.
***
Alika langsung diem seketika waktu kami berada dirumah perempuan yang mau gue ajak Ta'aruf. Calon kakek barunya Alika wajahnya serem abis. Alika disamping gue cuma bisa diem sambil gelendotan gak nyaman.
"Oh ini nak Satya ya?"
"Iya pak, saya Satya ini anak saya Alika."
"Ini anak saya, Ririne panggil saja Irin."
Seorang perempuan disebelahnya tersenyum ramah. "Alika kelas berapa?" Irin bertanya.
"Udah lulus kak, eh? Mbak?"
Alika bingung harus manggil apa.
"Mbak aja gakpapa. Alhamdulillah udah lulus? mau lanjut kuliah ya?" tanya perempuan itu dengan nada yang sangat halus.
"Iya... Tapi kemarin gagal SNMPTN."
Yah, malah jadi curhat si dek.
"Berarti belum dapet kamus dong?" suara sang Ayah terdengar bersemangat.
Tapi gue yang denger jadi was-was, takut Alika tersinggung. Pembahasan soal dapet kampus itu sensitif banget.
Alika tersenyum kecut, "Iya Om. Ini masih usaha kok."
Dan gue tau Alika tersinggung.
"Ririn, eh Irin ya?" gue mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Iya Mas, panggil senyamannya aja," Jawabnya sanbil tersenyum canggung.
"Biasa kalau balik ngajar jam berapa?"
"Jam empat sih Mas, tapi kadang kalau ada anak pesantren yang rewel jadi agak sorean."
"Alika, udah luluskan? Gimana kalau ikut jadi santri? Sambil nunggu daftar kuliah."
Aduh, jangan lagi Pak...
Ini bapaknya mancing melulu astagfirullah.
"Kalau ikut jadi santri kayaknya Alika enggak bisa Pak. Soalnya dia lagi mau fokus sama SBMPTN. Apalagi udah terlanjur ikut program bimble khusus buat ngejar PTN-nya."
"Iya Pah, seleksi masuk perguruan tinggi sekarang kan susah."
Bersyukur Ririne ngebela.
"Oh gitu? Tapi berusaha tanpa dibarengi ikhtiar juga sia-sia lho dek. Harus seimbang kalau mau ngejar sesuatu itu. Coba perdalam agama dulu aja Dek Alika, ikut jadi santri. Kan gak masalah juga selagi belum dapet universitas."
Si Bapak malah nyiram bensin.
Apa hubungannya belajar buat persiapan SBMPTN sama jadi santri?
"Papa!" tegur Ririne.
***
"Yang tadi gausah didengerin ya?" bujuk gue ke Alika yang terdiam di bangku penumpang.
"Gapapa Yang, orangtua emang suka gitu. Gausah dimasukin ke hati, lagian orangtua jaman dulu tuh emang kadang mikirnya sempit Sayang," Jaerend ikutan membujuk sembari menyetir mobilnya.
"Om Jaerend-kan juga orangtua!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Satya and His Daughter
General FictionSatya, single parent yang bercerai 9 tahun yang lalu ketika anaknya baru berusia 9 tahun. Ini cerita tentang hiruk pikuknya sebagai seorang ayah yang menjadikan putrinya sebagai dunianya. Enggak ada yang lebih penting dari Alika Giandra, putri semat...