Perutku rasanya sakit seperti dililit tali. Dari tadi aku mengaduh di kasur sambil berguling kesana kemarin.
Diruang tengah terdengar suara TV yang keras. Kebiasaan Ayah kalau nonton TV pasti volumenya keras. Sebenernya udah biasa, tapi hari ini dengernya kesel aja.
Aku bangkit dari kasur dan berjalan menuju ruang tengah, disana ada Ayah yang sedang duduk bersantai sambil menonton TV. Sementara aku masih berdiri di depan pintu kamarku, menunggu Ayah menotice keberadaanku.
"Belum tidur?" Tanya Ayah.
"Gimana mau tidur?! Ayah nyalain TV keras banget!" Kesalku.
Ayah mengeryitkan dahinya, mungkin heran.
"Ayah kecilin ya." Katanya sambil mengecilkan volume TV.
"Percuma! Udah gak bisa tidur!" Aku kembali menutup pintu kamar dengan perasaan kesal.
Gak beberapa lama Ayah masuk ke kamar.
"Alika kenapa?" Tanyanya melembut.
Aku masih diam.
"Yaudah tidur aja, Ayah matiin ya lampunya."
"Jangan dulu!" Kataku
"Perutku masih sakit."
Ayah kembali berjalan mendekat, "Kamu sakit perut?"
Aku menangguk.
"Ayah telpon mama kamu ya?"
Kebiasaan Ayah kalau aku sakit tuh pasti telpon mama, tapi ya percuma palingan disuruh beli obat A, B, C. Kalau gitu aja sih gausah telpon mama, langsung ke apotek juga bisa.
Mana pernah Mana susah-susah datang hanya untuk memberi aku obat? Mungkin kalau pun waktunya luang, Mama memilih tidur di apartemennya
"Enggak. Ini sakit gara-gara PMS."
"Ayah rebusin air panas buat ditaruh dibotol ya?"
Aku menangguk.
Lima menit kemudian Ayah dateng ngebawa haduk dan botol minum yang udah diisi air panas.
"Hati-hati panas." Ia mengingatkan.
"Ayah tidur aja, aku bisa sendiri."
"Gakpapa, Ayah tungguin." Katanya sambil membenarkan posisi haduk di perutku agar lapisannya benar menutupi perutku.
***
Seharian ini mood ku benar-benar jelek. Ditambah Ayah jemput aku lesnya lama banget. Aku hampir disuruh nunggu setengah jam. Tau gitu akukan bareng sama Calvin aja.
Calvin siapa?
Dia anaknya Om Jaerend.
Kita satu tempat les, Calvin biasanya naik sepeda kesekolah maupun ke tempat les. Padahal jarak nya kalau naik sepeda itu sekitar setengah jam.
Kalau aku sih males ya.
Sampai rumah pun aku masih ngediemin Ayah.
"Alika makan dulu." Ayah ngebuka pintu kamar.
Sementara aku masih duduk di meja belajar merapikan buku.
"Dek denger Ayah bilang apa?" Katanya sedikit lebih keras.
"Denger." Jawabku datar.
"Makan, kamu belum makan."
"Enggak laper."
Ayah terdiam sebentar.
"Ayah buatin susu mau."
"Enggak."
Aku pikir Ayah bakalan nyerah tenyata satu jam kemudian dia balik lagi.
"Dek, kamu itu belum makan dari sore lho?"
"Hmmm."
"Makan, nanti sakit."
"Enggak mau ya enggak mau!"
"Oh, yaudah. Alika gak nurut sama Ayah."
Tau gak rasanya gimana?
Ngeri.
"Lanjutin aja." Tutup Ayah kemudian nutup pintu kamar.
Aku mendengus kesal, sekarang jadi Ayah yang ngambek.
Akhirnya aku jalan kedapur, aku lihat Ayah lagi didepan TV sambil baca buku. TV biasanya nyala dia matiin. Padahal TV rumahku selalu nyala kalau Ayah dirumah.
Kata Ayah biar ramai, iya sih kalau gak ada suara TV rumah berasa sepi banget.
Dimeja makan udah ada sayur sop dan ayam bakar, ayah gak suka ayam goreng karena kadang kerasa keras. Waktu aku lihat ke mesin penanak nasi, nasinya masih full. Berarti Ayah juga belum makan.
Gak sengaja aku lihat ke kompor, disana ada sisa sayuran yang terlihat belum dibersihkan.
Jadi Ayah juga masak?
Setelah ngambil nasi aku ngeliat Ayah yang ada diruang tengah.
Aku ngerasa bersalah banget sama Ayah.
"Ayah." Panggilku mendekat.
"Hmm?" Tanyanya sambil meletakkan kacamata bacanya.
Kemudian aku duduk mendekat seraya memeluk Ayah.
"Loh? Anak Ayah kenapa?" Tanyanya sambil mengusap rambutku.
Aku masih memeluk Ayah dan jadi menangis dipelukan Ayah.
"Eh udah, Alika kenapa? Ayah salah ya?"
Jadi makin nangis kan, Ayah malah tanya apa dia salah. Padahal yang salah aku.
Aku merespon Ayah dengan gelengan.
"Udah besar ih, kelas dua belas juga, masa cengeng gini?"
"Maaf." Kataku sambil menarik diri.
"Kenapa?" Tanya Ayah sambil merapikan rambutku.
"Aku bad mood, terus Ayah jadi kena."
Tapi Ayah malah tersenyum.
"Oalah, anak Ayah lagi bad mood?" Ayah malah memeluk ku kembali.
"Hmmm, anak Ayah udah besar kan ya? Jangan sering bad mood ya? Nanti gak ada cowok yang mau lho." Godanya.
"Ayah ih!"
Ayah tertawa.
"Yaudah sana makan. Belum makan kan?" Tanyanya.
"Ayah juga belum makan kan?!"
"Kok tau?"
"Tau lah, nasinya masih full."
"Haha, yaudah yuk. Makan sama Ayah, tadi Ayah mau ngajak makan sop bikinan Ayah tapi kamu gak mau sih."
"Huhu Ayah maafin Alika."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satya and His Daughter
Fiction généraleSatya, single parent yang bercerai 9 tahun yang lalu ketika anaknya baru berusia 9 tahun. Ini cerita tentang hiruk pikuknya sebagai seorang ayah yang menjadikan putrinya sebagai dunianya. Enggak ada yang lebih penting dari Alika Giandra, putri semat...