Kakiku beneran pegel banget seharian keliling sama Lian, Calvin, Chlara (anak kedua tante Refa), Luna (anaknya tante Lanika), dan yang paling muda ada Lyn (anaknya Tante Isla). Calvin jadi cowok satu-satunya karena di kompleks ini spesies cowok muda sangat langka. Di gang di mana aku tinggal anak cowok hanya ada tiga. Yang satu di Paris. Yang dua kelakuannya nggak jelas.
Ya... Meskipun Calvin nggak jelas tapi dia cukup membantu.
Kalau ada Calvin kan enak, dia udah punya SIM jadi aman. Meskipun Calvin harus dipaksa-paksa dulu supaya nurut.
Jalan-jalan hari ini cukup seru karena kita pergi ramean. Bagian paling seru adalah minta Calvin buat bayarin semua pengeluaran.
Dari pagi sampai sore kita sibuk main sampai-sampai nggak kerasa udah sore. Kalau aja Luna nggak ada les bahasa Mandarin, kita bisa jalan sambil foya-foya pakai uang Calvin sampai malam. Tapi ya udah lah, sampai sore juga udah oke.
Sore ini rumahku kembali sepi, tadi Calvin di sini sebentar tapi terus balik katanya mau bantuin Mama-nya bikin kue. Halah, palingan dia tidur! Jangan percaya kalau dia bantuin mama nya.
Lian tadi pergi sama Om Brian, tadi aku diajak tapi ku tolak. Biarin Lian sama Papa nya me time dulu di Jakarta, lagian ntar kalau ada aku pasti berisik.
Aku suka banget kalau diajakin main atau ada temen yang main ke rumah. Kalau ada temen kan nggak ngerasa sepi. Tapi sayangnya waktuku sama temen-temen itu terbatas karena mereka pada punya kesibukan lain. Meskipun ada Chlara, Luna, dan Lyn, yang sama-sama cewek, sayangnya mereka pada sibuk sama agenda les mereka. Jarang banget kita bisa hang out kayak tadi. Dulu sih ada Kak Cia alias Kakaknya Lyn yang paling sering ngajakin hang out duluan, tapi sayang sekarang Kak Cia lagi kuliah di Memphis.
Kalau pun ketemu paling cuma di depan rumah waktu mereka lewat.
Jujur memang aku paling deket sama Calvin, soalnya selain satu sekolah, kita juga satu tempat les.
"Assalamualaikum." Suara Ayah terdengar dari pintu rumah. Sosoknya kemudian muncul dari balik pintu sambil tersenyum.
Aku langsung nyamperin Ayah terus salim.
"Om Brian sama Lian lagi pergi, Yah," kataku memberitahu Ayah.
Ayah mengangguk.
"Tadi jadi jalan-jalan?" tanya Ayah sambil duduk di sofa ruang tamu.
"Jadi. Andai aja Luna nggak ada jadwal les, mungkin kita masih di luar sekarang." Aku memasang wajah murung. "Udah lama tahu, Yah, aku nggak main sama Luna, Chlara, sama Lyn. Rumahnya deket tapi waktunya nggak pernah pas. Apa aku doang ya, Yah, yang paling excited kalau main sama mereka?" tanpa sadar aku mulai bicara panjang lebar.
Aku membuang napas kasar, "Mereka sih enak, kalau pun nggak ke luar rumah, di rumah mereka tetep ada temennya."
Dan tanpa sadar juga aku menyinggung tentang kondisi rumah.
"Eh..." Aku segera mengoreksi. "Nggak gitu maksud aku, Yah... Aku suka kok di rumah..."
Aku merasa bersalah tiba-tiba.
Ada beberapa hal yang selalu aku jaga kalau bicara dengan Ayah. Salah satunya membahas sepinya rumah kami karena hanya ada aku dan Ayah. Aku nggak ingin Ayah ngerasa bersalah karena kondisi kami yang seperti ini sejujurnya.
Ayah hanya tersenyum, senyumnya sudah jelas hanya untuk membuatku merasa 'nggak apa-apa salah bicara'.
"Kamu belum mandi ya?" tebak ayah seakan mengalihkan topik.
"Hehe tau aja." Aku segera terkekeh.
"Mandi sana. Udah mau maghrib ini."
"Ntar ah Yah, abis maghrib sekalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satya and His Daughter
Ficção GeralSatya, single parent yang bercerai 9 tahun yang lalu ketika anaknya baru berusia 9 tahun. Ini cerita tentang hiruk pikuknya sebagai seorang ayah yang menjadikan putrinya sebagai dunianya. Enggak ada yang lebih penting dari Alika Giandra, putri semat...