5 : Izin Mengenal

12.2K 1.9K 227
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Jika mencintai dan dicintai adalah pilihan. Maka memilihnya adalah takdir yang telah Allah tetapkan.
@skn.nisa

Happy Reading ❤

Berbagai pikiran buruk memenuhi isi kepalaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Berbagai pikiran buruk memenuhi isi kepalaku. Sepanjang mengendarai motor ke rumah sakit, mataku tak henti meneteskan air yang terus berderai membasahi pipi. Sampai di rumah sakit tempat Ummi di larikan, aku bergegas mengunjungi respsionis bertanya dimana letak ruangan pasien yang belum lama menjadi korban kecelakaan.

Usai tahu letak ruangannya, aku pergi menggunakan lift. Tidak peduli orang-orang disekitar mulai memandangiku dengan tatapan aneh karena menangis tersedu-sedu. Ini semua karena Ummi yang keras kepala tidak mau aku antar, ini semua salahku membiarkan Ummi pergi sendiri. Harusnya aku saja yang pergi ke butik, sehingga Ummi tidak perlu harus di larikan ke rumah sakit.

“Ummi..” Panggilku setelah membuka pintu ruangannya. Aku berlari memeluk Ummi erat, menangis tersedu-sedu di bahunya.

“Ummi kenapa bisa kaya gini? Shafa bilang biar Shafa yang antar Ummi. Ini semua salah Shafa kan?” Tanyaku bertubi-tubi.

Ummi mengisyaratkanku agar melepaskan pelukan. Ternyata seorang suster sedang mengobati luka di kening, kaki dan sikutnya yang berdarah.

“Ummi baik-baik aja, cuma pingsan tadi sebentar. Untung di tolongin terus di bawa kesini...”

“Kenapa bisa?”

“Salah Ummi gak liat-liat waktu nyebrang jalan, kebetulan ada motor. Jadi gitu kejadiannya.” Penjelasan Ummi belum berhasil membuatku tenang.

“Siapa yang bawa Ummi kesini?” Tanyaku penasaran ingin mengucapkan terima kasih padanya.

Ummi melirik ke arah pintu. Aku pun mengikuti arah padangannya, ternyata ada seorang pria berjaket terbuat dari parasut berwarna army baru saja masuk tengah berjalan dengan begitu gagahnya sembari menenteng kantong plastik putih di tangan kananya.

“Kahfi?”

Mataku mengerjap beberapa kali,  berusaha menahan agar tidak terkejut melihat penampakannya lagi setelah di kantin waktu itu.

“Dia maksud Ummi?” Aku memastikan, semoga saja Ummi salah orang. Jadi aku tidak perlu berterima kasih padanya.

Tetapi jawaban Ummi malah menganggukan kepala.

“Lepas dulu helmnya, gak malu apa?” Tegur Kahfi santai padaku.

“Hah?”

Aku masih setengah sadar berada disini, saat meraba kepalaku. Benar saja aku lupa melepaskan helmku, pantas saja orang-orang diluar memandangku aneh. Argh Malu sekali!  Mau disimpan dimana lagi wajahku jika sudah begini.

Kahfi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang