27 : Langkah Awal

8.3K 1.5K 468
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Hal yang paling sederhana
menikmati hidup adalah bersyukur.

@skn.nisa

Absen dulu, siapa yang nunggu Kahfi Update?

Happy Reading

Bolpoin di tangan kananku bersiap menandatangi surat perceraian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bolpoin di tangan kananku bersiap menandatangi surat perceraian. Tatapanku sendu melihat namaku tertera di sana. Perjanjian yang berawal dari atas kertas buku pernikahan berakhir pula di atas kertas perceraian. Sesekali aku menghela napas gusar, bahkan berulang kali menutup mapnya agar tidak melihat kenyataan pahit bahwa aku akan segera bercerai.

Keinginanku bisa merobek kertas itu berkeping-keping, membakarnya, memusnahkan, bagaimanapun caranya aku ingin menyingkirkan dari hadapanku! Seseorang bisa saja mudah melepaskan bila teringat rasa benci lebih besar dari cinta yang selama ini tertambat pada hatinya. Tidak denganku, sebesar apa pun rasa benciku, sebesar apa pun dia melukai hatiku, sulit melepaskannya begitu saja.

Semua kejadian terlalu mendadak, sulit bagiku menerima. Baru kemarin dia menikahiku, baru kemarin dia membangun impian bersamaku, baru kemarin aku memeluknya bersepeda di pantai. Dan rasanya, baru kemarin juga dia melepaskan genggaman tanganku demi wanita lain. 

Dia mengatakan, sehebat apapun pertengkaran terjadi. Jangan pernah berpikir saling melepaskan. Kepalaku rasanya akan pecah! Dia terlalu banyak mengatakan hal-hal yang dia sendiri justru tidak bisa menepatinya.

Sudah beberapa bulan berjalan sebagai mana mestinya, setiap hari aku selalu berharap melupakan dia. Jika aku diberikan pilihan bisa amnesia maka aku siap mendapatkan itu, apapun caranya selama aku bisa melupakan aku bersedia melakukan.

Bismillah...” usai mengumpulkan keberanian. Aku menandatangi surat perceraian. Secepat mungkin aku kembali menutupnya, di persidangan nanti pun aku tidak akan hadir.

Sudah cukup pertemuan itu menjadi terakhir kali. Aku harus bisa memulai hidup baru, tanpanya! Tanpa kenangan yang selalu mengikutiku seperti bayangan.

“Teh Shafa...,” suara panggilan Rama dari ruang tengah membuatku bergegas keluar. “Jadi mau ikut bareng gak? Udah jam delapan soalnya, Ummi juga udah tunggu dari tadi.”

“Iya sebentar, kamu tunggu di mobil.” kataku buru-buru mengambil tas selempang warna peach di kamar. Siapa yang tahu hari ini adalah hari bahagia sahabatku. Najwa, gadis itu akan melangsungkan pernikahan setelah dua sebulan lalu melaksanakan khitbah.

Syukurlah Allah memberi kemudahan bagi mereka berdua, mengetuk pintu hati Ibunya Fatih agar merestui hubungan mereka. Namun sayang, di hari yang seharusnya aku bahagia sepenuhnya, aku tidak bisa merasakan hal itu karena surat perceraian aku dan Mas Kahfi datang.

Kahfi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang