35 : Panggilan Itu

9K 1.5K 751
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Jangan pernah memperlakukanku
dengan istimewa. Ingat, aku bukan
milikmu lagi.
@skn.nisa

Absen dulu yuk, bacanya jam berapa nih?

Absen dulu yuk, bacanya jam berapa nih?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Benci! Benci!

Hidupku kembali di masuki bayangan tentangnya lagi. Usahaku selama ini sia-sia, susah payah aku memutuskan tidak kembali ke Jakarta, bahkan tidak untuk sekedar menemui Ummi saja demi menghindari pertemuan dengannya. Tuhan, kenapa aku harus bertemu lagi? Kenapa harus dia lagi?

Semesta tidak berpihak padaku.

Percuma saja aku menutupi diri, dia begitu mudahnya kembali ke hadapanku tanpa beban. Kali ini aku ingin memohon agar musnah, aku ingin membuat diriku tidak terlihat. Seseorang, tolong bawa aku pergi! Tampar aku, sadarkan aku bahwa ini semua adalah mimpi. 

Kerja profesional tidak ada di dalam kamus ku. Semakin aku berusaha menolaknya, semakin kuat pula keinginanku bertemunya. Katakan pada diriku sendiri bagaimana dengan pertemuan kemarin? Apa aku senang? Maka aku akan menjawab, ya. Lalu apa aku membenci pertemuan itu juga? Maka aku pun memiliki jawaban yang sama, ya.

Pletak!

Sya!” bentakku marah saat kaleng melayang di tembok rumahku sengaja di lemparkan Marsya.

Marsya cekikikan memunculkan kepalanya di balik tembok. “Selamat pagi Shafa.” sapanya agar aku tidak marah.

Aku membuka pagar rumah selesai mengunci pintu, Marysa mengapit lenganku. “Tong marah kitu atuh ah, jadi hoream ningalina geh.” (Jangan marah gitu atuh ah, jadi males liatnya juga.)

“Kamu sih, ngagetin kebiasaan.” cibirku.

Ck, iya-iya Shafa.”

Aku melangkah malas bersama Marsya menuju halte bis. Biasanya untuk sampai di kantor kami harus menaiki bis yang hampir setiap pagi berdesak-desakan. Begitupun pulang, meskipun sekarang banyak ojek online dimana-mana, kami memilih bis menjadi sarana transportasi, meski sering kali harus terjebak macet. Tidak masalah bagiku, selama ongkosnya murah.

Hidup sendirian di kota orang harus pandai-pandai menghemat pengeluaran. Makan pun jika sedang tidak sempat membeli, aku dan Marsya sering masak bersama agar pengeluaran kami tidak terlalu boros.

“Sya, kamu punya mantan?” tanyaku penasaran setelah kami duduk di bis tepatnya pada kursi paling belakang.

Marsya tiba-tiba tertawa, “Kenapa Shaf? Tumben tanya masalah mantan, bukan mau sombong atau gimana ya. Mantan aku cuma ada sepuluh,”

Kahfi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang