28 : Salam Perpisahan

8.7K 1.6K 529
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Kehadirannya tidak lebih hanya sebagai pengkhianat cinta dan pemberi luka.

“Shafa mau bekerja Ummi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Shafa mau bekerja Ummi..,” ucapku tanpa basa-basi pada Ummi. Dia melemparkan tatapan biasa padaku, melanjutkan aktivitasnya menjahit.

“Ummi,” aku merengek kesal tak kunjung mendapatkan respon.

Akhirnya Ummi bisa serius, dia meletakan benang dan jarum jahitnya di atas meja. “Kamu mau bekerja apa? Mau bekerja di mana?” tanyanya balik.

Kini bergantian aku jadi bingung mau membalasnya bagaimana. Mengingat jadwal interview ku akan di laksanakan tiga hari lagi, aku harus bergegas mengambil keputusan dan izin dari Ummi pergi ke Bandung.

“Shafa?” Ummi mengguncangkan bahuku tak kunjung membalas.

“Shafa——” Ah, bagaimana? Aku jadi bingung sekaligus tidak tega. Bagaimana jika Ummi menolak mentah-mentah kesempatan ini? Tapi jika aku tidak mengatakannya, aku tidak akan pernah tahu apa jawaban dari Ummi. 

“Shafa mau bekerja, di Bandung Ummi. Dua minggu lalu, Shafa mengajukan cv di perusahaan desain. Shafa sudah mendapatkan email balasan, tanggal tujuh belas nanti jadwal interview Shafa sudah di tetapkan.” tuturku panjang lebar.

Aku memperhatikan mimik wajah Ummi yang jauh lebih tenang dari dugaanku. Dia meraih kembali benang dan jarumnya, bersiap menjahit kain yang berada di atas pangkuannya. Hatiku mencelos seketika, apa Ummi kecewa dengan keputusanku? Apa Ummi marah? Harusnya Ummi katakan jika dia ingin melarangku, jangan membuat aku merasa bersalah seperti ini.

“Ummi...” panggilku.

Ummi diam saja, tatapan sendu terpancar jelas di wajahnya yang sudah keriput di makan usia.

“Shafa, kamu tau kenapa Ummi dan Abi dulu sering melarang kamu bepergian jauh. Karena tidak ada yang menjaga kamu, seorang wanita lebih baik bepergian dengan mahramnya.” Ummi menjeda ucapannya, dia menatap padaku lekat-lekat. “Tapi saat ini situasinya sudah berbeda, Ummi tahu atas dasar apa kamu ingin bekerja di sana.”

“Ummi,”

“Shafa, jika kamu berniat pergi karena luka di hatimu. Maka Ummi ijinkan, Ummi tidak akan melarang kamu, karena Ummi tidak ingin kamu terus menerus berada dalam keterpurukan. Tapi jangan meniatkan sesuatu karena kamu ingin mendapatkan itu, niatkan juga karena Allah. Yang Ummi takutkan, jika kamu pergi untuk melupakan Kahfi, dan kamu tidak bisa melakukan itu di sana. Kamu akan berakhir kecewa, semua yang kamu lakukan akan sia-sia.”

Kahfi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang