Ketika takdir mempermainkan mereka. Senang, sedih, takut, amarah, frustasi, kesalahpahaman, dan pertikaian yang terjadi diantara mereka.
Apakah takdir akan terus mempermainkan mereka?
Kadang mereka lelah dengan semuanya, tapi mereka sadar dan yakin...
"Ayah!!" Emelie yang baru saja pulang sekolah berlari dari arah pintu dan segera memeluk kaki jenjang ayahnya, sedangkan ayahnya hanya terdiam tanpa ekspresi.
"Mau apa kamu?" ketus sang ayah.
"Ayah, Emie punya kabar bagus!! Ayah mau tau?" Emelie segera membongkar isi ransel miliknya dan segera mengeluarkan sebuah kertas, kertas itu berisi penghargaan.
"Ayah lihat!" Emelie segera menampilkan sertifikat penghargaan itu ke arah sang ayah.
"Emie dapat juara 1 lomba menggambar tingkat kota! Emie hebat 'kan Yah?" tanya Emelie dengan mata berbinar menatap sang ayah, berharap jika sang ayah akan memberikannya sebuah pujian, barang hanya satu kata saja.
"Hanya itu saja?"
"Ck... Apa kemampuanmu hanya bisa menggambar? Seharusnya yang kamu pamerkan adalah hadiah ketika kamu mendapatkan juara 1 olimpiade Matematika tingkat Nasional-" lanjut sang ayah membuat hati Emelie tergores. Bukan ini yang ia harapkan.
"Kamu hanya membuang waktuku. Menyingkir!" Sang ayah segera mendorong Emelie yang menghalangi jalannya.
Dengan tega sang ayah pergi meninggalkan Emelie yang masih ingin berbicara dan ingin mendengar 1 kata pujian dari sang ayahnya itu, tapi Emelie hanya bisa pasrah. Ia menatap sertifikat penghargaan itu dengan raut wajah sedih. Matanya perlahan mulai mengeluarkan air.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ayah~" lirih Emelie sambil memeluk sertifikat penghargaan itu dengan air mata yang membanjiri pipinya.
Seharusnya ia tidak kecewa saat ini. Mengingat bahwa hanya sang ibu yang selalu ada serta merawatnya dengan penuh kasih sayang, dari kecil hingga ia menginjak umur 9 tahun.
Sedangkan ayahnya? Ayahnya itu tidak pernah sekalipun membantu istrinya untuk merawat Emelie. Ketika Emelie menginjak umur 6 tahun pun ayahnya itu tidak pernah sama sekali mengajarinya cara membaca, menulis dan berhitung. Bahkan sekedar menegur Emelie saja ayahnya tidak pernah, selalu Emelie lah yang menegur duluan sang ayah.
Emelie juga tidak tau apa kesalahannya, sehingga ayahnya begitu membencinya hingga saat ini. Emelie hanya tau, jika dulu ayahnya sangat menginginkan seorang anak laki-laki, tetapi takdir berkata lain, yang terlahir ke dunia adalah anak perempuan yaitu dirinya sendiri, Emelie Lóuerra Zanette.
"EMIE!!" pekik seseorang dari arah pintu masuk membuyarkan lamunannya.
"Elian?!" Emelie segera menghapus air matanya dan tersenyum senang ketika melihat sahabat kecilnya itu datang berkunjung.