Bab 8. Anke Mentari

13.8K 713 14
                                    

Aku tidak ingat apa-apa saat itu, yang aku tau setelah aku tersadar aku melihat seorang bayi yang sangat cantik.

Aku masih kesusahan membuka kedua mataku, masih mencoba-coba memulihkan segala pandangan. Tiba-tiba saja suamiku datang dan memegang tanganku perlahan.

"Terima kasih Tari, karena kamu sudah melahirkan anak kita. Walaupun melalui jalur operasi, tapi kamu sudah menjadi ibu yang sempurna," katanya menatapku begitu dalam, ia menahan airmatanya yang sudah memenuhi seluruh kelopaknya.

Ia mencium keningku dan mengelus rambutku, bukan senang aku malah menangis, aku sangat terharu suamiku memperlaku-kan ku seperti sekarang ini, mengingat pada kerasnya ia membentakku beberapa saat yang lalu.

Rasanya sudah sangat lama aku tidak mendapatkan perlakuan seperti ini dari suamiku, dia yang kelelahan sering kali emosinya tidak stabil.

Dia mengambil sang malaikat kecil kami dan menaruh disampingku, anak ini benar benar cantik.

"Kamu mau namain dia siapa?" tanyanya dengan mimik penasaran.

"Aku yang namain?"

"Kamukan pasti tau apa nama yang terbaik untuk anak kita, dari semua buku yang kamu baca, pasti ada yang memiliki arti paling dalam" jawabnya.

Jujur saja otakku sempat ngeblank, aku tak sempat memikirkan apa-apa, tiba-tiba seluruh nama yang aku baca dibuku, hilang begitu saja.

Hingga rasanya satu cahaya datang, menyinari nama itu sendirian, "Gimana Kalau Anke Prawiro? Bagaimanapun Anke adalah anugrah ditengah-tengah kehidupan kita," usulku

"Anke Mentari Prawiro! Agar selain menjadi anugrah bagi kita berdua, dia juga bisa menjadi cahaya yang sangat terang bagi kita, dan biarkan dia menjadi mentari yang sangat cerah seperti ibunya" tambah suamiku dengan senyumnya.

Aku ikut tersenyum, dan mengngangguk. Itu nama yang sangat indah untuk bayi cantikku, rasanya sangat tepat menamainya dengan itu.

Setiap orang tua pasti ingin membari yang terbaik untuk anaknya, menjadikan hidup anaknya sebahagia mungkin, yang ia selipkan doa-doanya lewat nama sang buah hati.

Anke. Tadinya aku tidak berpikir kalau anakku akan kukasih nama Anke. Tetapi, setelah melewati proses yang sangat panjang dibulan-bulan terakhirnya, mendapatkan cobaan yang sangat berat dihari-hari itu, dia tetap menjadi penguat untuk diriku.

Dia seperti anugrah yang diturunkan oleh Tuhan khusus untuk aku, kelahiran dia adalah anugrah terindah yang pernah aku dapatkan.

Aku senang saat suamiku berharap anaknya menjadi seterang mentari, dan bisa menjadi yang paling cerah bagi semua orang.

Di dalam nama mentari aku juga tak lupa menyelipkan doa-doaku, walaupun mempunyai nama tengah yang sama dengan namaku, tetapi aku berharap dia tidak mempunyai nasib sepertiku kelak.

Aku tidak ingin seorang anugrah yang sangat cerah mempunyai nasib yang buruk, dia harus menjadi manusia paling bahagia dihidupnya.

Air mata yang tak bisa kubendung lagi akhirnya pecah, aku tidak pernah menyangka bisa melahirkan bayi secantik ini, rasanya aku tak bosan memujinya.

Aku juga tidak menyangka, bahwa ada banyaknya cobaan yang harus aku lalui, demi mendapatkannya.

Disaat-saat berat aku berpikir, bahwa tidak ada jalan lagi untuk diriku kabur, bahwa tidak adalah kesempatan yang berpihak padaku, tetapi, lagi-lagi anak ini menjadi penopangku.

Setelah aku melihatnya, mendengar suara tangisnya, rasanya seperti ada yang berkata padaku, 'anak ini tetaplah anugrah'.

Diriku yang tadinya putus asa, buntut tanpa kejelasan, akhirnya memutuskan untuk bangkit kembali.

Aku meyakini diriku, bahwa tidak ada kata menyerah untuk aku, karena kini ada Anke disebelahku: Aku tak takut lagi.

Ada anak yang harus aku pertanggungjawabkan, anak yang harus mempunyai cerita paling baik dalam hidupnya.

Mungkin sebelumnya aku berpikir untuk menyerah saja, pergi jauh dan meninggalkan suamiku rasanya sudah cukup.

Namun, kini ada Anke yang menjadi pertimbangan besar bagiku, langkahku lebih berat lagi dari kata menyerah.

Aku tidak ingin Anke bernasib sama sepertiku, atau merasa menderita sejak dini: itu mimpi buruk.

Aku tidak ingin Anke mempunyai cerita buruk dalam hidupnya, yang diukir oleh orang tuanya sendiri.

Kini seorang bayi mengalahkan rasa egoku, adapula rasa yang berubah menjadi tokoh pertahanan.

Entah aku harus berterima kasih atau mengeluh pada Anke, tetapi, rasanya tidak perlu.

Aku hanya harus berjalan lurus, entah jalanan apa yang aku lalui: kerikil, pasir atau bendungan, itu tetaplah jalannya.

Walaupun sekuat tenaga aku menegakkan pundakku, tetapi, menjadi wanita kuat sepertinya hanya angan, aku belum cukup mampu sampai dititik itu.

Satu hal yang harus aku lakukan, aku hanya tidak boleh menangis di depan anakku, karena air mataku akan menjadi beban dalam hidupnya.

Dan tak lupa untuk terus mencoba menjadi manusia yang lebih baik, karena senyumku harus menjadi senyum anakku juga.





*****
To Be Continued

Suamiku [TAMAT] || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang