Bab 14. Siapa dia

11.4K 579 23
                                    

Pagi yang cukup segar membuat aku menghirup udara dalam-dalam didepan rumahku.

Aku berpamitan cukup lama pada anakku, karena hari ini aku pasti akan pulang telat. Mensurvei tempat, tumpukan dokumen, bertemu dengan client yang cukup penting.

Semoga lancar, hanya itu doaku untuk hari ini, hari yang mungkin akan terasa sangat panjang. Ditengah bisingnya kota, aku mencoba mengendarai mobil yang sudah setahun lebih tidak aku pakai. Aku harus beradaptasi lagi pada dunia.

Rasa cemas, takut, gugup aku rasakan saat ini, rasanya aku seperti sudah tidak lancar lagi memegang setir, menginjak gas dan rem, mencium aroma mobil yang cukup membuatku mual.

Aku melewatkan masa itu lebih dari 30 menit, sebelum akhirnya aku sampai di parkiran kantor, aku menuju lift, menuju ruanganku. Sepertinya aku terlalu pagi lagi, isi kantorku masih sepi, aku hanya melihat dua anak magang yang sedang asik berbincang.

Aku mengurus pekerjaanku yang menumpuk diatas meja, semangatku kali ini sangat luar biasa, aku merasa kembali kedua tahun lalu, dimana aku masih aktif dengan kegiatan diluar rumah.

"Tar, nanti lu sama Dito berangkat jam 11 ya, ada orang dari divisi lain ko" ujar Dahlia didepan mejaku, "jangan balik kekantor lebih dari jam 2 loh, hari ini ada meeting penting" ingatnya.

Aku mengangguk pelan, "iyaa bu Dahlia" jawabku agak formal.

"jangan so formal deh mba Tari" ujarnya menatapku, "btw, hari ini Bagas ulang tahun ya?" tanyanya.

"yaampun aku sampe lupa" jawabku menepuk dahi.

"Tar please, kenapa tiba-tiba lu jadi pikun?" ujar Dahlia bingung.

Jujur belakangan ini aku memang sering kali lalai, pikiran tak berguna yang memenuhi otakku membuatku sering kali susah mengendalikan diri.

Aku memutar-mutar pena ditanganku, menerka-nerka apa yang harus aku beri pada suamiku itu. Mengingat pertemuan kemarin cukup tidak enak, membuatku merasa canggung begitu saja. Aku bahkan tidak berani menghubunginya, rasa cemas karena bicaraku yang tidak sopan kala itu, membuatku muak pada diriku yang tidak konsisten ini.

Dengan tangan gemetar yang dilengkapi dengan sedikit keringat, aku mencoba mengirim pesan. Selamat ulang tahun, ucapku. Balasan terima kasih membuat aku merasa semakin jauh dengan suamiku. Rasa abai yang ingin sekali ku lakukan, nyatanya cukup menyiksa diriku.

Ini kali pertamaku mencoba acuh, mencoba terlihat kuat dan berani didepan suamiku, mencoba memenangkan hak ku sebagai ibu, dan seorang wanita.

Rasanya sulit, rasa benar-benar sulit. Aku yang selama ini sangat patuh, harus mencoba melawan arah yang sudah kulewati selama empat tahun ini.

Aku bukanlah tipe orang yang bisa dengan mudah menyakiti orang lain, memikirkannya saja sudah membuatku enggan, tapi kini, harus kulakukan.

Pekerjaanku yang kuselipkan lamunan tak berarti itu menjadi semakin lambat, tidak berantakan saja sudah cukup untuk hari ini.

Lagi-lagi seorang pria berdiri didepanku, mengetuk pembatas mejaku, "ayo bu berangkat" ujarnya.

Aku mengikuti dengan tatapan kosong, hal-hal tak penting itu bahkan mempercepat waktu yang terasa semakin singkat. Aku menyusuri lorong, menaiki lift yang sunyi, canggung pasti dirasakan, karena tak sepatah katapun ku ucapkan sedari tadi. Parkiran mobil yang kulihat lagi kini terasa semakin sepi dan sunyi.

Aku berdiri didepan mobil milik Dito, menunggu rekanku dari divisi berbeda, pergerakannya yang cukup lambat membuatku sedikit jenuh.

Aku melihat seorang lelaki yang tidak asing dimataku, aku mencoba menerka dengan mata yang mulai mengecil. Dito yang tiba-tiba berdiri didepanku, membuat ku terkejut dan sedikit menyingkirkan bahunya.

"saya suka sama bu Tari" ujarnya sembari memelukku.

Aku terkejut sampai hampir berteriak, mencoba mendorong tubuh yang tidak ku kenal, "saya gasuka ya kamu gasopan gini!" bentakku agak keras.

Aku membalikan badan tak mengerti, anak ini memang aneh, benar-benar aneh. Aku ini istri orang, tetapi dia melakukan itu seperti aku ini seorang gadis biasa.

Jujur saja aku tidak suka dengan perlakuannya yang mendadak, aku risih saat ada orang yang tidak mengerti situasi dan kondisi.

Aku ingin memaki, namun satu mobil dengan dua orang didalamnya, membuat aku mengalihkan pandangan, melihat dengan seksama. Itu mobil suamiku, dan satu orang didalamnya adalah suamiku, orang yang ku lihat tak asing tadi, namun teralihkan dengan perlakuan Dito.

Aku berjongkok disamping mobil, menutup mata tak percaya. Aku benar-benar melihatnya kali ini.

Aku terbangun dan berlari meninggalkan Dito, dengan kaki yang tadi sudah hampir keseleo, aku melanjutkan tanpa sadar rasa sakit itu. Aku menuju ruangan suamiku, harap-harap cemas yang memenuhi seluruh hati dan otakku. Dengan usaha yang tergesah tadi membawaku tepat didepan pintu ruangannya, sepi dan kesunyian yang lagi-lagi memekik tenggorokanku. Mataku yang langsung tertuju pada satu meja yang kosong, meja milik Sarah yang ditinggalkan oleh penghuninya.

Aku menghela napas panjang, rasa tak percaya lagi-lagi ku rasakan. Yang Dahlia ucapkan kala itu membuat aku semakin merasa terpojok. Suamiku benar-benar menyelingkuhi ku lagi kali ini.

Tangis yang kutahan makin membuatku sesak, Dito yang mengejarku tanpa aku sadar sampai didepan mataku, "kita harus profesional kan bu?" ujarnya yang makin membuatku harus menahan semua ini.

Benar, kita memang harus Profesional, ini tempat kerja, bukan rumahku yang bisa menjadi tempat paling hangat sekaligus dingin untukku pakai menangis.

Lagi-lagi aku menutup mata, mencoba mengendalikan diriku yang tidak bersikap baik ini. Aku menggenggam kedua tangan, mencoba sadar dari situasi gelap ini.

Perlahan namun pasti, akhirnya aku bisa melanjutkan pekerjaanku. Walau sedikit terlambat dan terhambat, lebih baik ku kerjakan dari pada harus ditunda-tunda.

Bohong kalau saat ini aku tidak memikirkan situasi tadi, aku mencoba menarik napas panjang beberapa kali, ini benar-benar kecerobohan.

Akhir-akhir ini aku memang sering kali tidak kenal pada diriku sendiri, sikap yang senonoh membuatku terus menyesal.

Aku takut, aku benar-benar takut, bagaimana jika aku salah jalan ? Bagaiman jika hal yang ingin kudapat didalam kantor ini, malah benar-benar membunuhku.

Aku takut, saat nanti aku harus membahas semua ini, aku takut, jika aku akan secepatnya duduk dibangku pengandilan.

Banyak rasa yang kucemaskan, banyak rasa yang ku takuti, rasa yang semakin hari makin menusuk seluruh hatiku, rasa yang asing bagi diriku.

Aku mencoba menolak, aku mencoba bertahan, aku mencoba menang, tetapi, apakah jalan yang ku pilih tidak akan ku sesali?.

Entah harus mundur atau bertahan sedikit lagi, aku takut menyesalkan perbuatanku kali ini.

*****
To Be Continued

Suamiku [TAMAT] || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang