Sudah beberapa hari dari suamiku berangkat untuk berlibur, kabarnya hari ini dia sudah di Jakarta.
Aku sangat senang menunggu suamiku pulang, dia berjanji akan dirumahku beberapa hari ini, untuk menggantikan waktu saat mereka liburan.
Aku memasak makanan kesukaan suamiku untuk malam ini, aku menyiapkan dinner kecil-kecilan untuk menyambut kedatangannya.
Setelah beberapa lama, semuanya hampir selesai, aku mencari handphoneku untuk menghubungi Suamiku.
Aku mengirim satu pesan.
*Mas pulang jam berapa?*
Sudah pukul tujuh hampir setengah delapan, tetapi pesanku tak kunjung dibalas, mungkin dia sedang menyetir: Pikirku.Aku menunggunya, diruang depan yang dekat sekali dengan pintu, tetapi, sampai pukul sepuluh suamiku tak kunjung datang.
Mataku sudah mulai mengantuk, makanan yang kusiapkan juga sudah dingin sekali, aku mencoba mengirim pesan sekali lagi, untuk memastikan apakah dia akan pulang atau tidak.
*Kamu Gak Jadi pulang, mas?*
Aku terus menunggu, hingga akhirnya Pesanku baru terbaca pukul setengah 12, saat itu Mas Bagas tidak langsung membalas, aku menunggu dan masih memegangi handphoneku.
Sampai tiba-tiba, satu pesan masuk saat mataku sudah mulai terpejam, aku mengerjap untuk memastikan
*Maaf ya tar, aku gabisa pulang. Barra sakit*
Jujur hatiku sakit sekali, aku berharap lebih, aku berharap banyak hari ini, aku sudah membayangkan indahnya saat ia pulang.
Aku sampai tak sempat membalas, aku menutup mataku dengan kedua tangan, aku menangis.
Menangis tanpa suara adalah tangisan yang sangat-sangat menyakitkan, kaki dan tanganku bergetar, rasanya saat itu aku ingin sekali berteriak, namun tak mampu.
Beberapa lama aku menangisi diriku, terdengar berbarengan dengan suara tangisan yang nyaring ditelinga: Itu tangisan Anke, tiba-tiba saja dia terbangun dan menangis.
Aku langsung berlari ke kamarku, melihat Anke yang sedang muntah, dan badannya yang sangat panas, membuatku benar-benar menangis.
Rasanya sungguh tak adil, mengapa waktunya tidak tepat sekali, mengapa Anke tiba-tiba saja jatuh sakit, sore ini dia masih baik-baik saja.
Atau mungkin dia sudah tidak baik-baik saja, aku terlalu fokus memasak, mementingkan suamiku, dan meninggalkan anakku
Rasanya aku ingin menelfon Mas Bagas, tetapi pesan tadi membuatku tersadar, bahwa Barra juga sedang sakit.
Anke memuntahkan banyak susu yang dia minum seharian ini, aku gemetar, ini pertama kalinya aku melihat anakku sakit.
Tangisan Anke dan tangisanku membangunkan para ART, mereka bergegas masuk ke kamarku.
Ketar-ketir, mereka juga ikut bingung melihat kedua wanita ini menangis, mereka sibuk mengurusi muntah Anke yang sudah berserakan dimana-mana, sembari menenangkanku.
Untungnya salah satu ARTku sudah cukup berumur dan berpengalaman, Anke diambil dengan dia karena melihatku sudah tak terkendali.
Dia menyuruh salah satu ARTku membuatkan aku teh hangat, dan segera mengurusi Anke. Aku hanya terduduk lemas.
Aku takut sekali Anke kenapa-napa, aku lebih takut Anke terluka, apalagi seharian ini perhatianku agak berkurang karena aku terlalu sibuk.
Aku taktau, salah satu ARTku menelfon Bagas lewat telfon rumah, tetapi jawabannya sama, dia tetap tidak bisa pulang karena Barra yang sedang sakit juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku [TAMAT] || REVISI
Chick-Litketika dihadapan tuhan kita sudah mengikat janji untuk sehidup semati. Namun, apa daya jika kenyataan membawaku ke pernikahan yang menyakitkan. -Mentari Kusumawardi _______________________ Sedang dalam masa revisi bersekala besar, mohon maaf untuk k...