Bab 21. Penjelasannya

17.8K 816 240
                                    

Suamiku membawaku pulang. Gerimis dimalam hari makin memperdingin suasana didalam mobil berwarna putih kesayangannya.

Tidak sepatah katapun keluar dari mulut kami berdua, kami hanya menatap jalan yang kosong dan sepi tak berpenghuni.

Waktu berjalan begitu cepat, kita sampai dirumah tengah malam hari. Burung hantu yang mengeluarkan suaranya, semakin membuat keadaan tegang.

Aku berjalan lebih dulu menuju kamar. Barra sudah dialihkan dengan ART-ku yang biasa mengurus Anke.

Aku duduk diatas kasur berwarna kuning emas menyala, sinar lampu yang sedikit redup membawa kita masuk kedalam suasana gugup.

"Syena ga seharusnya ngasih tau ini. Tapi, mungkin hal itu bisa membuat kamu mengurungkan permintaan perceraian kita" mulainya penuh rasa gugup.

"kenapa aku harus mengurungi niat? Bukannya kamu yang bilang, bahwa semua sudah diurus!" tegasku tak mau kalah lagi. "kita harus akhiri ini sebelum kita berjalan semakin jauh. Kita sudah terlanjur memulai dan terjun bersama. Aku gak bisa ikutin kata ibuku lagi, aku yakin jalan yang aku pilih sudah sangat tepat" tambahku menatap matanya yang sudah sama-sama memerah.

Rasanya seperti kita saling menyakitkan. Aku yang tertikam pisau, dan dia yang tertekan batu. Ini terlalu menyiksa.

"Tari aku berani sumpah! Aku gabisa kalo kamu pergi" balasnya lebih dulu mengeluarkan air mata, "kamu rumahku Tari, sejauh apapun aku pergi. Pulangku tetap pada kamu"

Aku menelan ludahku berkali-kali, menahan segala tangis dan sesak yang sudah memenuhi seisi hatiku, "kamu yang menghancurkan tempat teduhmu sendiri Bagas. Aku hanya manusia"

Ia memegang tanganku lemas, "kasih aku satu kesempatan lagi Tari. Aku janji hidupku akan hanya diisi oleh kamu dan anak-anak kita"

"bukankah ini alasanmu demi meningkatkan jabatanmu dikantor? Kamu tidak pernah bisa melepaskan di keadaan ini karena kamu takut kehilangan duniamu kan" puncakku mendesaknya seperti tadi aku mendesak Syena.

Ia makin terunduk redup, "ini beneran bukan soal pekerjaan Mentari. Ini soal kamu, soal Anke"

Aku memukul dadanya begitu kesal, air mataku turun begitu saja mengingat apa yang terjadi pada saat sebelum ia menikahiku, "kamu yang tega memisahkan anak dari ibunya Bagas. Kamu yang tega menghancurkan hidupku setelah aku mencintaimu disisa hidupku kali ini.."

"kamu seharusnya tidak menikahi aku Bagas, kita tak seharusnya bersama. Kita hanya saling menyakitkan satu sama lain," ujarku diiring isak tangis yang tak tertahan lagi.

"sumpah Tari. Cintaku lebih besar pada kamu dari pada Bila, dulu aku memang mencintainya tapi tidak sebesar aku mencintai kamu"

Aku menampar pipinya penuh marah, "brengsek! Kamu gak seharusnya naruh dua wanita didalam satu hati yang sama" teriakku menggema didalam kamar.

Ia makin menunduk dan mengangguk, "aku memang brengsek Tari. Aku berhak dapet balasan apapun. Asal jangan kehilangan kamu, Tari"

Baru saja aku ingin kembali berbicara perutku seakan cucian basah yang sedang diperas.

Aku merabah perutku dengan tangan tergesa-gesa, mencari titik sakit yang tak kunjung ku temui.

"Ba-Bagas-perutku" rintihku diiringi dengan tanganku yang menarik kemeja putihnya.

"kamu kenapa Tar?" tanyanya begitu panik.

Aku tak bisa menjawab lagi, perutku kini semakin sakit empat kali lipat. Aku hanya bisa memeras dan mencengkramnya.

Ia membopongku berlarian menuju bawah, bergegas melajukan mobilnya yang kian melesat cepat ditengah derasnya hujan.

Kami memasuki ruang UGD dan segera didatangi oleh beberapa Perawat dan Dokter. Aku kehilangan kesadaranku sepenuhnya.

Suamiku [TAMAT] || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang